You are currently browsing the daily archive for March 4, 2008.

Kamis, 14 Februari 2008

FILM pendek? Tentu, bukan film panjang yang durasinya dipendekkan. Film pendek juga bukan film yang membuat kening berkerut dan rambut menjadi acak-acakkan karena tangan sering menggaruk kepala sebagai tanda tidak mengerti. Dan, yang pasti, film pendek mengandung pesan.

Dimas Jayasrana dalam tulisannya di www.filmalternatif.org, memaparkan bahwa film pendek merupakan gerakan yang dimulai sejak tahun 1970-an. Mahasiswa sinematografi dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (kini Institut Kesenian Jakarta-red.) membuat sinema 8 untuk membuat karya “film mini”.

Sinema 8 hadir sebagai jawaban anak muda untuk berkarya lebih bebas dan mandiri. Bebas dalam arti tidak ada tekanan pemilik modal sehingga kreativitas bisa berkembang leluasa dan mandiri berarti berusaha atas usaha swadaya para pelakunya sendiri.

Artinya, ada wacana perlawanan dalam gerakan ini. Tentu, bukan perlawanan dalam arti gusur-menggusur atau dengan kekuatan massa. Akan tetapi, pertunjukan kreativitas yang menjadi basis munculnya gerakan ini. Anak-anak muda itu, menurut tulisan Dimas, mengalami keresahan akibat komersialisasi karya film dan film sebagai propaganda politik pemerintah.

Nama-nama seperti Gotot Prakorasa, Henri Darmawan, dan Hadi Purnomo muncul sebagai ikon penggerak. Ada pula Sardono W. Kusumo yang merambah pada film eksperimental. Tahun 1982, muncul Forum Film Pendek yang digagas setelah kepulangan Gotot dari festival di Oberhausen. Tahun ini mulai teknologi video mulai dikenal. Lantas pada tahun 1985, muncul Pekan Sinema Alternatif yang diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki.

Semangat itu di kalangan anak muda sering disebut semangat independen. Sejak masuknya sinematografi ke era digital pembuat film independen pun bermunculan. Mereka lantas bergabung saling bertukar pikiran dan saling menunjukkan kebolehan mereka dalam berbagai festival film alternatif. “Hal ini pula yang turut memancing semakin banyak munculnya komunitas-komunitas film di Indonesia secara signifikan“, tuturnya.

Booming film alternatif atau film indie ini terjadi pada kurun 1999-2004. Dalam catatan Dimas, saat itu komunitas film dan cine club, yaitu kumpulan masyarakat peminat, pencinta, dan pemerhati film) ada di mana-mana. Tentu, ini menambah gairah perfilman dan komunitas film. Bahkan, sebuah TV swasta pada tahun 2003 semapat mengadakan Festival Film Independen Indonesia (FFII) yang digelar masif. Ada 1047 karya untuk megikuti FFII 2003. Tahun 2005 seperti klimaks. Setelah itu grafiknya turun-naik lagi.

Ada banyak masalah yang menyebabkan komunitas pembuat film dan cine club ibarat roller coaster. Kota Bandung pun hampir tidak ada jejak yang jelas tentang keberadaan mereka. Disebut hilang, kadang muncul. Namun, kadang pun hilang tanpa jejak. Dalam kasus komunitas film yang ada di dalam kampus, persoalannya kadang tidak terlepas dari masalah akademis dan pergantian kepemimpinan.

Di kampus, spirit itu berganti seiring dengan pergantian kepemimpinan. Berganti periode, berganti kebijakan. Kalau yang basisnya adalah kampus, harus siap memikirkan regenerasinya“, ujar John de Rantau, sutradara film “Denias”.

Namun, di luar kampus, persoalan yang lebih mendasar ternyata terkait pula dengan peran pemerintah. Kebijakan film impor dan sentralisasi pendidikan film menjadi salah satunya. Berikutnya adalah persoalan infrastruktur yang tidak ada sehingga proses penyelenggaraan pemutaran film pun tersendat biaya mahal. Lainnnya, masalah distribusi film.

Sebenarnya, keberadaan komunitas film dan cine club menjadi penting. Mereka bukan kepanjangan industri dan bukan sekadar sebagai komune membuat film. Di komunitas tersebut sebenarnya ada proses belajar. Belajar untuk mengerti tentang apa yang ditonton dan bisa belajar memberikan apresiasi. Bukan sekadar menjadi penonton yang datang untuk berhalusinasi di depan layar kaca atau sebuah bioskop.

Lantas apa yang mesti dilakukan? John berkata, “Spirit indie itu adalah berproduksi bukan hanya hasil“.

Penulis: Agus Rakasiwi
Sumber: Pikiran Rakyat

Urban art adalah seni yang mencirikan perkembangan kota, dimana perkembangan itu kemudian melahirkan sistem di masyarakat yang secara struktur dan kultur berbeda dengan struktur dan kultur masyarakat pedesaan. Saat ini seni bukan lagi sekedar berlatar belakang tradisi tapi justru lebih merespon tradisi-tradisi baru terutama di daerah perkotaan yang secara demografis dihuni oleh anggota masyarakat yang sangat heterogen.

Urban art lahir karena adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya. Maka munculah usaha dari sekelompok orang untuk memamerkan dan mendatangkan seni ditengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan kebebasan berekspresi di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui media seni dan dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri. Zaman sekarang seni bukan lagi sebuah representasi yang ditampilakan digaleri saja, tapi sebuah media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lainnya seperti iklan di TV, billboard iklan, poster promosi, baligo dan lain-lain. Semua media ekspresi tersebut mendominasi dihampir setiap fasilitas publik.

Urban art berhasil memangkas hubungan yang berjarak antara publik sebagai apresiator dengan sebuah karya seni. Menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Seni diposisikan sebagai sesuatu yang konservatif dan sarat dengan nilai pengagungan. Urban art berhasil meruntuhkan nilai-nilai tersebut dengan cara menghadirkannya ke tengah publik melalui media-media yang erat dengan keseharian masyarakat kota. Bila menarik elemen lokal dalam urban art, lukisan di bak truk dan becak adalah contoh urban art.

Tujuan urban art lebih berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalisme dan perlawanan terhadap sistem dominan dimasyarakat. Bentuk konkret urban art bisa bermacam-macam sepanjang karya seni itu mengusung spirit dinamika urban. Di kota Bandung kita bisa melihat semua ekspresi semangat urban itu dalam berbagai bentuk. Seperti komunitas musik punk yang kerap menggelar street gigs di bawah jembatan layang Pasupati, seniman tradisi yang rutin menggelar kesenian pencak silat di taman Cikapayang atau juga lukisan-lukisan mural ditiang-tiang jembatan layang Pasupati.

Pada akhirnya urban art berhasil dikomodifikasi oleh komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk kesenian terutama seni mural dan grafiti sekarang terutama di kota Bandung lambat laun berhasil menjadi sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis. Banyak para seniman mural dan grafiti yang mengekspresikan ide mereka dengan para pemilik distro atau clothing di Bandung. Para pemilik distro ini memfasilitasi para seniman tersebut dengan menyediakan space/lahan untuk berekspresi. Selain memberikan nilai estetika pada toko, mereka juga ikut memberikan penyaluran terhadap keinginan seniman tersebut untuk berkarya.

Penulis: Addy Handy

Apa itu zine? here we go. ‘zine’ sebenarnya adalah kependekan dari ‘magazine’ atau majalah. Dibacanya ‘ziin’ bukan ‘zain’, dimana konteks dan isinya tidak terdapat dalam majalah mainstream, atau bahasannya berbeda dengan majalah lainnya. Zine sendiri cukup umum dibelahan dunia sana, dan sekarang sedang berkembang disini. Biasanya zine memiliki penyebaran yang tidak terlalu luas dan pada umumnya diterbitkan secara independen. Sirkulasi pendistribusian suatu zine biasanya tidak besar, non komersil, tidak professional dimana para pembuatnya memproduksi, mempublikasikan dan mendistribusikannya sendiri.

Kebanyakan zine pada umumnya non-profit, bahkan kebanyakan zine biasanya lebih banyak kehilangan uang dibandingkan hanya sekedar balik modal. Dapat dikatakan sebagai proyek merugi yang menyenangkan, tapi pada dasarnya pula suatu zine adalah suatu produk amatir. Dalam dunia profesional istilah ini agak bergeser namun ‘keamatiran’ ini diterjemahkan oleh Mike Gunderloy, editor fanzine “factsheet five’ sebagai produk cinta: cinta akan ekspresi, cinta untuk berbagi dan cinta akan komunikasi, dimana media lainnya biasanya diproduksi untuk mencari keuntungan finansial atau satu prestise dalam publik. Zine keluar sebagai satu ekspresi protes kepada budaya dan lingkungan sosial yang menawarkan sedikit cinta. Zine juga dirilis sebagai satu bentuk kemarahan. Zine juga merupakan alat yang cukup ampuh untuk menyuarakan pendapat seseorang. Sebuah representasi seseorang tentang dirinya, komunitasnya dan hal-hal lain yang terkait. Zine juga memiliki halaman yang hanya 10 atau 40 halaman hingga 100 halaman.

Perkembangan paling signifikan dunia zine dimulai pada tahun 1930 di Amerika, ketika fans dari fiksi ilmiah (science fiction) melalui klub-klub yang mereka bentuk membuat suatu fanzine. Mereka memproduksi fanzine ini, mengisinya dengan cerita-cerita fiksi ilmiah dan komentar-komentar kritis dan tentunya berkomunikasi dengan dengan fans lainnya. Sekitar 40 tahun kemudian pada pertengahan tahun 70-an, pengaruh cukup signifikan juga datang dari fans punk rock. Pada saat itu media mainstream sama sekali mengacuhkan punk rock dan kemudian fans punk rock memilih untuk memproduksi sendiri zine tentang budaya dan komunitas mereka.

Salah satu zine yang krusial pada masa itu adalah Factsheet Five. Zine ini lebih merupakan zine info tentang zine lain, isinya mulai dari budaya, musik sampai politik. Sistem manajemen dan sirkulasi distribusi yang baik membuat zine ini dijadikan sumber informasi bagi orang-orang yang ingin mencari bacaan alternatif diluar media mainstream.

Maximum Rock n’ Roll atai MRR merupakan zine punk tertua di dunia. Setiap bulan zine ini memberikan info zine hardcore mancanegara dan manca budaya. Tim Yohannon, biasa dipanggil Tim Yo, mengkordinasikan hampir lebih 70 kontributor dan volunteer yang disebut ‘the shitworkers’. Malahan pada edisi Juli 1994 MRR memiliki 95 shitworkers yang bahu membahu secara kolektif untuk menghasilkan sebuah majalah punk dengan politik yang baik. Banyak kritikan yang ditujukan kepada MRR karena durasi eksistensinya yang lama. MRR sempat dituding sebagai ‘punk law’ atau ‘punk police’ karena opini yang dibuat MRR kemudian menjadi opini umum dalam komunitas. MRR disamakan dengan mainstream karena oplah dan pendistribusiannya yang cukup luas dan besar. MRR sebenarnya berawal dari sebuah acara underground di radio kemudian berkembang menjadi zine. Lewat tabungan yang mereka hasilkan, MRR kemudian mampu membuka epicenter sebuah space komunitas punk yang bernama Gilman Project, sebuah punk squad yang dirubah menjadi klub punk dan penerbitan yang bernama Pressure Drop Press. Pada tahun 1998 Rim Yo meninggal karena sakit, namun MRR tetap berjalan dengan zine kordinator yang berganti-ganti. Hal ini menunjukan bahwa sebuah zine sebenarnya mampu menjadi media komunikasi suatu komunitas (bahkan dengan komunitas lainnya). Zine juga mampu membuat jaringan hanya dengan inisiatif dan kordinasi yang baik hingga menjadi kuat dan terorganisir tanpa hirarki.

Di Indonesia sendiri, zine sedang berkembang dan dimotori oleh komunitas yang dapat dibilang bergerak secara underground (tidak disamakan dengan rock underground) dan juga yang paling menonjol sekarang adalah komunitas fans game dan japan animation/manga (umumnya berformat tabloid). Sebenarnya bentuk komunikasi tertulis ini sudah ada sebelumnya, hanya tidak terlalu signifikan berbentuk zine dan lebih banyak berupa news letter seperti news letter sastra, seni rupa, music underground dan agama. Namun memang jangkauannya hanya terbatas pada komunitasnya saja. Ada beberapa zine local seperti Mindblast, Brainwashed dan Revogram yang memfokuskan diri pada musik underground multi genre, The Beat tentang info dan acara di Bali, Ripple dengan hedonismenya, Sophia lewat pembahasan filosofinya, Kopi Pahit dengan wacana seni rupa, Terompet Rakyat dengan komik dan politik kiri dsb. Zine-zine tersebut memang tidak seluruhnya merupakan zine underground seperti yang biasanya (seperti membahas music death metal, punk dll), tetapi masih dapat dikategorikan sebagai zine independen, underground in a way.

Pendistribusian zine-zine lokal sangat bergantung pada komunitasnya. Seperti zine underground yang didistribusikan lewat distro atau mail order, zine game pada counter game rental, atau toko buku non-profit seperti pasar buku. Namun karena zine ini sangat terbatas maka pendistribusiannya tidak dapat mencakup semua wilayah di Indonesia. Di Indonesia sendiri tidak terbiasa dengan mengungkapkan opini sejak dini hingga perkembangan zine sebenarnya terlambat dibandingkan dengan negara di kawasan Asia lainnya. Malyasia dan Singapura memiliki zine-zine underground yang berkualitas dan kadang diproduksi oleh anak usia antara 12-17 tahun. Tentunya akan menjadi lebih menyenangkan melihat anak SMP-SMA membuat zine yang berisi hal-hal yang mereka sukai. Hal tersebut dapat membantu perkembangan kreativitas, apalagi pembuatan zine terbilang mudah. Dari yang hanya tulisan tangan sampai menggunakan layout komputer.

Pada akhirnya zine dengan segala keterbatasannya dan bahkan dengan segala kontradiksinya menawarkan sesuatu yang sangat penting bagi orang yang membuat dan menikmatinya, yakni sebuah tujuan. Dalam bayangan budaya dominan, zine dan budaya underground telah menemukan sebuah lahan bebas; sebuah lahan yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan imajinasi dan eksperimen dengan pemikiran-pemikiran yang lebih baru dan ideal, serta komunikatif. Ideal-ideal underground seperti otensitas dan kehidupan non instrumental menawarkan sebuah tantangan yang berbeda terhadap lingkungan modern. Zine merupakan harapan yang yang memungkinkan pembuat dan pembacanya untuk bergerak, tidak statis dan tiap partisipasi dalam suatu zine adalah menyenangkan. Mungkin terlalu berlebihan untuk dapat merubah dunia, tapi untuk mencoba akan selalu menyenangkan.

Ada beberapa kategori dan klasifikasi zine, dari mulai tema atau isu yang diangkat oleh suatu zine :

  • Fanzine, merupakan bentuk zine yang paling besar dan paling tua, dan banyak pula yang mengatakan bahwa suatu zine adalah fanzine. Fanzine adalah media yang merepresentasikan ketertarikan suatu komunitas terhadap suatu genre budaya. Ada beberapa sub kategori yang terdapat pada fanzine. Fiksi ilmiah dimulai pada tahun 1930-an, publikasi dari dan untuk penggemat fiksi ilmiah dan merupakan zine pertama. Walau sekarang jumlahnya sedikit namun eksistensinya merupakan yang paling solid dalam dunia zine.
  • Musik, biasanya lebih fokus pada suatu band, individu musisi atau suatu genre tertentu. Kebanyakan zine ini adalah zine punk arau alternative. Zine ini jenis yang paling besar di dunia.
  • Olah raga, tidak terlalu populer kecuali di Inggris dimana sepakbola merupakan kegemaran yang umum sehingga banyak zine tentang sepakbola dan tim favorit. Di Amerika zine olah raga yang umum adalah baseball, surfing, skateboard dan gulat bebas.
  • Televisi dan film, memfokuskan diri pada entertainment yang popular maupun tidak.
  • Game, populer pada era 90-an, sejak game dari Nintendo atau Sony merajai dunia video game. Biasanya terdapat review mengenai game baru dan tips permainan.
  • Zine politik, kategori yang ada pada pada zine politik secara tradisional seperti anarkisme, sosialisme, liberalian, fasis dan juga kategori identitas seperti feminism. Ada juga dengan unsur politik yang mengandung kritik politik atau budaya sebagai fokus bahasan.
  • Zine komunitas (scene zine), menyangkut informasi dan berita dari komunitas tertentu.
  • Zine jaringan, kategori ini mengkonsentrasikan zine pada review dan publikasi zine, music, seni rupa, dan segala kultur underground.
  • Zine fringe culture, teori-teori konspirasi dan tema-tema seperti UFO, serial killer. Hamper seperti tabloid hanya lebih dalam pembahasannya dengan kualitas intelektual yang lebih dan kadang humor.
  • Zine religious, focus pada ketertarikan suatu agama atau hal spiritual. Termasuk paganism, satanisme dan lain-lain.

Sebenarnya masih banyak zine yang lainnya, namun yang disebutkan tadi merupakan contoh yang umum.

Sedangkan yang berkembang sekarang adalah e-zines atau electronic zines. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, e-zines merupakan salah satu alternatif yang handal untuk menyebatkan informasi. Namun banyak kalangan menganggap hal tersebut tidak akan membunuh bentuk zine konvensional yaitu cetakan, karena pendistribusiannya akan terbatas.

*Disadur dari buku “Notes from Underground: Zines and Politics of Alternative Culture, World Zines dan juga berdasarkan pengamatan pribadi terhadap zine local.

Penulis: Arian Tigabelas
Sumber: Majalah Trolley edisi Januari tahun 2002 (Disalin ulang oleh Addy Handy)