You are currently browsing the tag archive for the ‘Film’ tag.

Rabu, 16 april 2008

DIBANDINGKAN dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Bandung memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah film Indonesia. Pemerintah daerah sejak dulu begitu berperan dalam menjalin kerja sama dengan para sineas. Film pertama yang dibuat di Indonesia “Lutung Kasarung” (1926) produksi NV Java Film, garapan G. Krugers dan L. Heuveldorp, bisa terwujud. Sebagian besar karena kepedulian Bupati Bandung saat itu R.A.A. Wiranatakusumah V yang lebih populer dengan sebutan Dalem Haji. Beliau termasuk salah seorang bupati yang menyukai cerita-cerita legenda Sunda.

Pemain-pemain “Lutung Kasarung”, semuanya warga pribumi, antara lain para priyayi, di bawah pimpinan seorang guru kepala Raden Karta Barata. Film tersebut kemudian diputar di bioskop Elita dan Oriental.

Film “Toha Pahlawan Bandung Selatan” yang disutradarai Usmar Ismail merupakan film hasil kerja sama NV Perfii dengan Daswati II Bandung. Melalui film ini pula, artis kelahiran Bandung Mila Karmila sebagai pemeran utamanya, langsung menjadi populer. Kemudian pada tahun 1964, NV Perfini yang bekerja sama dengan Jabar Film (Pemerintah Kabupaten Bandung) membuat film “Anak-anak Revolusi” yang disutradarai Usmar Ismail.

PT Dewi Film bekerja sama dengan Kodam VI (sekarang Kodam III) Siliwangi menggarap film “Mereka Kembali” (1972), yang dibintangi Dicky Zulkarnaen, Arman Effendy, dan Rina Hassim, disutradarai oleh Nawi Ismail. Menceritakan kembalinya Pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Bandung, ketika perjanjian Renvile 18 Desember 1948 gagal.

Tahun 1989, PT Kharisma Jabar Film milik Ir. Chand Parwez Servia bekerja sama dengan Pemda Provinsi Jabar menggarap film “Si Kabayan Saba Kota”, yang sukses besar di semua bioskop di seluruh Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan menggarap film “Si Kabayan dan Gadis Kota”, (1989), “Si Kabayan dan Anak Jin” (1991), “Si Kabayan Saba Metropolitan” (1992), dan “Si Kabayan Mencari Jodoh” (1994).

Sejak awal kelahiran film yang dibuat pertama kali di Indonesia, perusahaan film di Bandung pun terus bermunculan. Bahkan, banyak film yang mengambil cerita dari Tatar Sunda, seperti “Eulis Acih”, “Bunga Ros dari Cikembang”, “Ciung Wanara”, “Air Mata Mengalir di Citarum”, “Rampok Preanger”, dll.

Tahun 1961, Harapan Film menggarap film komedi “Karena Daster” yang dibintangi pemain film asal Bandung, Us Us, Noortje Sopandi, dan Mila Karmila, disutradarai oleh Nawi Ismail.

Tahun 1966, aktor Rachmat Hidayat mendirikan PT Bandung Azwa Film Corp., membuat film “Tikungan Maut” yang disutradarai Nyak Abbas Acup. Pemeran utamanya Rachmat Hidayat dan Nani Wijaya. Karena kehabisan biaya filmnya baru selesai tahun 1968 dan beredar tahun 1973.

Pemain terkenal asal Bandung, Tuty Suprapto mendirikan PT Diah Pitaloka Film. Produksi pertamanya, film “Si Kabayan” yang dibintangi Kang Ibing dan Lenny Marlina, berdasarkan cerita/skenario RAF, disutradarai oleh Bay Isbahi.

Film lainnya “Dukun Beranak (Paraji Sakti)”, dan kisah nyata tentang “Mat Peci Pembunuh Berdarah Dingin” (1978). Rachmat Hidayat memerankan tokoh Mat Peci, penjahat yang saat itu menggegerkan Kota Bandung.

**

KETIKA tanggal 29 Maret 1999 keluar Kepres No. 25 yang ditandatangani Presiden B.J. Habibie, yakni menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional, maka seakan menegaskan Bandung sebagai tonggak sejarah film Indonesia.

Salah satu pertimbangan para tokoh perfilman yang mengusulkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional sebab pada tanggal 30 Maret 1950, untuk pertama kalinya dibuat film Indonesia yang semuanya dibuat oleh warga pribumi juga diproduksi oleh perusahaan film pribumi. Film tersebut berjudul “Darah dan Doa”, yang mengungkapkan hijrahnya pasukan Siliwangi.

Semula film tersebut akan menggunakan judul “Long March” dan rencananya akan dikirim ke Festival Film Internaisonal di Cannes. Sayang penggarapannya terlambat, akibat menyusutnya nilai uang setelah pemerintah saat itu melakukan pemotongan nilai uang. Modal untuk shooting film tersebut tidak mencukupi karena nilainya turun drastis. Film tersebut bisa diselesaikan sepenuhnya, setelah sutradara/produser Usmar Ismail memutuskan untuk mengadakan kerja sama dengan Spektra Exchange. Hampir semua film perjuangan yang disutradarai oleh Usmar Ismail, dibuat di Jawa Barat dan mengungkapkan peristiwa-peristiwa heroik di Jawa Barat, khususnya di Bandung.

Sutradara lainnya yang menggarap kisah heroik yang terjadi di Bandung adalah Alam Rengga Surawijaya melalui film “Bandung Lautan Api”, yang dibintangi Arman Effendy, Dicky Zulkarnaen, Christine Hakim, dan Tatiek Tito.

Oleh karena itu, ketika Wali Kota Bandung H. Dada Rosada menjadikan Festival Film Bandung (FFB) sebagai salah satu acara tetap dalam program pengembangan seni budaya, sesungguhnya menegaskan kembali keberadaan Bandung sebagai tonggak sejarah film Indonesia. Bahkan ketika Pendopo Kota Bandung digunakan sebagai tempat pelantikan pengurus Forum Film Bandung dan pengumuman nominasi film terpuji FFB, seolah mengembalikan pamor pendopo untuk kegiatan film dan seni budaya Sunda — yang telah dirintis R.A.A. Wiranatakusumah V. Sebelumnya, Wali Kota Dada Rosada juga pernah menampilkan pertunjukan “Tembang Bandungan” dan pertunjukan kesenian lainnya di Pendopo.

Dalam perjalanan FFB yang sudah berusia 21 tahun, baru Wali Kota Bandung sekarang yang hadir di tengah-tengah kegiatan FFB. Tentu saja keberadaan FFB ke depan diharapkan jauh lebih berkembang, seperti halnya Festival Film Berlin, Festival Film Cannes, Festival Film Kairo, dll. yang sudah mendunia sehingga membuat nama kotanya termasyhur dan kegiatan festivalnya dijadikan agenda internasional. FFB juga telah menginspirasi beberapa kota di Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan festival film.

Penulis: Eddy D. Iskandar (Pemred “SKM Galura” dan Ketua Forum Film Bandung
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Sabtu, 10 November 2007

Film dan bioskop pada awal kemunculannya dianggap sebagai ikonografi modernitas dunia hiburan. Pada dekade-dekade pertama abad ke-20, tidak lama dari titik penemuannya, penghiburan anyar ini segera merambah ke segenap penjuru dunia, mengisi waktu luang orang-orang kota saat itu.

Ikonografi modernitas hiburan tersebut kemudian sampai di Bandung, tepat satu abad silam pada tahun 1907. Saat itu dua bioskop pertama berdiri di Alun-alun Bandung dalam bangunan tenda semipermanen yang cukup besar. Bioskop-bioskop tersebut adalah de Crown Bioscoop milik seorang bernama Helant dan Oranje Electro Bioscoop milik Michel.

Pertunjukan perdana bioskop-bioskop tersebut berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan. De Crown Bioscoop adalah yang tampil lebih dulu. Oranje Electro Bioscoop menyusul tepat seminggu kemudian dengan pertunjukan perdananya pada Sabtu malam, 1 Desember 1907.

Tenda-tenda bioskop tersebut dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bendera dan umbul-umbul. Pada salah satu sisi bagian dalam tenda terpampang sebuah layar besar di mana gambar idoep diproyeksikan. Sisi-sisi lainnya ditempeli poster-poster film unggulan yang hendak diputar. Lantai tenda tersebut dilapisi vloer dan alas semacam tikar. Walau sarana pertunjukan film terbilang masih sederhana, tenda bioskop ini tampil cukup menghebohkan untuk ukuran seabad lalu.

Di antara dua pertunjukan perdana tersebut, pertunjukan dari Oranje Electro Bioscoop tampaknya memang lebih meriah. Selain dipromosikan lebih serius, bioskop milik Michel ini juga dilengkapi peralatan proyeksi yang lebih canggih. Disebut ”electro bioscoop” karena alat proyeksi gambarnya memang telah menggunakan sistem elektronik yang memungkinkan pemutaran film berjalan mulus dengan gambar yang tidak berkedipan.

Pertunjukan perdana Oranje Electro Bioscoop berhasil mendapat sambutan meriah dari masyarakat Bandung. Malam itu tenda-bioskop ini dipenuhi orang-orang yang penasaran melihat ”keajaiban zaman” yang akan dipertunjukkan.

Saat itu film yang diputar tentu masih bisu. Oleh karena itu, Michel sang pemilik bioskop menyediakan sebuah orgel-elektrik yang besar sebagai instrumen pengiring gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Pertunjukan film dimulai pukul tujuh malam. Namun, beberapa waktu sebelumnya suara musik dari orgel Oranje Electro Bioscoop telah terdengar meramaikan atmosfer Alun-alun. Musik dari orgel tersebut segera menarik perhatian publik untuk datang ke Oranje Electro Bioscoop.

Dari malam ke malam bioskop-bioskop tersebut terus mendapat animo yang baik dan selalu ramai penonton. Kepenasaran orang saat itu atas film-film yang akan ditampilkan seolah tak kunjung habis. Saat cuaca kering maupun hujan, setiap malamnya orang-orang berebut sado, beranjak pergi ke Alun-alun Bandung dan segera memenuhi tenda-tenda bioskop Michel dan Helant.

Ruang pertunjukan di bioskop zaman itu dibagi menjadi beberapa kelas dengan harga karcis yang bervariasi. Karcis kelas I yang dijual lebih mahal tentu diperuntukkan bagi orang Eropa atau mungkin pribumi dari kalangan menak, kelas II, untuk kalangan Timur asing dan pribumi dari kalangan menengah, dan kelas III atau IV untuk kalangan menengah bawah. Pilihan lain untuk menonton film dengan tarif jauh lebih murah adalah di feesterrein (taman hiburan rakyat).

Dari Tenda ke Gedung
Tahun-tahun berikutnya, bioskop di Bandung berkembang dari bentuk tenda semipermanen, kemudian beralih ke bangunan permanen yang juga masih sangat sederhana. Bioskop-bioskop permanen yang kemudian muncul di antaranya adalah Elita Biograph, Varia Park, dan Oriental Show di Alun-alun Timur, Alhambra Bioscoop di Kompa-Suniaraja, Orion Bioscoop di Kebonjati, Vogelpoel Bioscoop di Braga-Naripan, serta Deca Bioscoop yang bertempat tepat di belakang kantor pos pusat, Banceuy.

Saat itu bioskop-bioskop lazim tampil sebagai bagian dari sebuah gedung kesenian atau yang saat itu dikenal sebagai roemah koemedie. Film dalam bioskop adalah salah satu bentuk pertunjukan yang ditawarkan di suatu roemah koemedie, di samping pertunjukan-pertunjukan konvensional seperti koemedie stamboel, tonil, konser orkes musik, dan sebegainya. Orion merupakan bagian dari Preanger Theater (kemudian menjadi Luxor Theater dan Luxor Park), Alhambra Bioscoop merupakan bagian dari Apollo Theater (kemudian menjadi Empress Bioscoop), dan Elita Biograph sempat menjadi bagian dari Scala Theater.

Menjelang akhir dasawarsa 1910-an, bioskop-bioskop di Bandung mulai dibangun dengan bangunan khusus yang dirancang sebagai gedung bioskop. Di Alun-alun Timur, Elita Biograph dan Oriental Show dirombak menjadi bangunan yang jauh lebih memadai dan tampil utuh dengan bentuk standar sebuah gedung bioskop zaman itu.

Bioskop-bioskop terus berkembang dari jumlah dan fasilitasnya. Pada pertengahan 1920-an, di Braga yang saat itu merupakan pemusatan hiburan kalangan Eropa, dibangun Concordia Bioscoop (kemudian populer sebagai Majestic Theater), bioskop elite berstandardisasi Eropa.

Masa Kejayaan
Dalam era film bersuara pada 1930-an, bioskop-bioskop di Bandung makin mengalami kemajuan. Saat itu bioskop-bioskop di Bandung dikuasai satu jaringan besar Elita Concern yang dikelola seorang “Raja Bioskop” bernama F.F.A. Buse.

Pada masa itu gedung-gedung bioskop baru yang megah dengan arsitektur yang khas, lengkap dengan fasilitas mutakhir, gencar didirikan oleh F.F.A. Buse. Elita Biograph dan Oriental Show di Alun-alun Timur dibangun ulang dalam rupa gedung besar yang modern dengan corak art-deco yang kental. Dengan bangunan barunya, Elita Biograph bahkan dikenal sebagai salah satu dari dua bioskop terbaik di negeri ini saat itu. Pembaruan fasilitas dan daya tarik dilakukan pula pada bioskop-bioskop Elita Concern lainnya.

Bioskop-bioskop baru pun terus dibangun. Di kawasan Pecinan muncul Roxy Theater, Oranje Bioscoop, dan Oranje Park. Sementara di wilayah timur muncul Rivoli Theater di Kosambi dan Liberty Bioscoop di Cicadas.

Bioskop-bioskop Elita Concern tersebut terpilah atas kelas-kelas tertentu yang fasilitasnya disesuaikan dengan daya beli masing-masing kalangan masyarakat. Sedari Concordia Bioscoop (Majestic Theater) yang tampil sebagai bioskop elite kalangan orang Eropa, hingga bentuk feesterrein yang mengakomodasi kebutuhan hiburan “rakyat kecil” seperti Varia Park.

Dalam mengagumi kemegahan gedung serta standar kualitas bioskop-bioskop di Bandung, Gravin de Réthy, seorang bangsawan Belgia yang berkunjung ke kota ini pada 1930-an sempat bertutur, “Zoo’n welverzorgd theater moest Brussel hebben” (Bioskop-bioskop seperti ini sepantasnya ada di Brussel). Komentar Gravin de Réthy menggambarkan bahwa kemajuan bioskop-bioskop di Bandung paling tidak telah menyentuh standar kualitas bioskop di kota-kota besar dunia, seperti Brussel.

Elita Concern terbilang unggul dalam mengelola bioskop-bioskopnya. Salah satu keberhasilan yang menonjol misalnya tampak dari keberhasilan menekan harga karcis. Tarif biokop di Bandung kala itu bahkan adalah yang termurah di Hindia Belanda, dengan fasilitas terbaik yang ditawarkan.

Kegemerlapan gedung-gedung bioskop Elita Concern berimbang dengan animo masyarakat Bandung atas film. Pada masa Hindia Belanda dulu, bioskop dan feesterrein di Bandung tidak pernah sepi pengunjung. Pada akhir pekan bahkan orang harus berebut karcis agar tidak kehabisan karcis.

Bioskop Dulu dan Sekarang
Sebagian besar artefak sisa kejayaan bioskop di Bandung masa Hindia Belanda telah punah berganti menjadi bangunan-bangunan baru. Sedikit sisa yang masih bisa kita temukan saat ini adalah bangunan bekas Majestic Theater (sempat bernama Gedung AACC) di Jalan Braga yang pada masa pascakemerdekaan sempat bertahan sebagai bioskop dengan nama Bioskop Dewi. Di Kosambi masih berdiri pula bangunan bekas Rivoli Teater yang sekarang digunakan sebagai gedung kesenian Rumentang Siang. Sementara di Alun-alun Selatan masih berdiri bangunan bekas bioskop Radio City milik J.F.W. de Kort yang beroperasi sejak awal 1940-an.

Berbeda dengan dulu, di masa sekarang bioskop seolah memang tidak lagi bisa dikenali melalui rupa fisiknya. Bioskop-bioskop masa kini lazim tampil sebagai bagian dari bangunan besar pusat belanja. Rupa dari sebuah bioskop kini menjadi semu, melesap dalam kompleks town square, mal atau plaza. Tak ada lagi bioskop dalam “gedung bioskop”. Tak ada lagi penanda jejak zaman yang dibuat dalam rupa gedung bioskop.

Penulis: Taufanny Nugraha (Penggiat Klab Aleut, komunitas apresiasi dan wisata sejarah)
Sumber: Pikiran Rakyat

Senin, 17 September 2006

Bandung? Anak Bandung mah cuma bisa mulai tapi ngga bisa mempertahankan apa yang sudah dimulai!” Begitulah komentar beberapa orang ketika ditanyai mengenai perkembangan perfilman di Bandung. Saya hanya tersenyum mendengarnya, dalam hati saya membenarkan komentar itu. Tapi memulai masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika mau jujur, siapa komunitas film di Bandung yang cukup berpengaruh? Apa karya mereka yang cukup menonjol yang pantas diperhitungkan dalam geliat kebangkitan perfilman nasional? Sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Atau malah bukan seperti itu pertanyaannya. Ataukah sebaiknya lihatlah Bandung sebagai Bandung.

Sebut saja Forum Film Bandung yang cukup berpengaruh pada dasawasa 80 an. Lalu, sekitar dua tahun di penghujung 90an, dimana Bandung gempita dengan semangat komunitas-komunitas pecinta film yang membentuk Kine Klub. Mulai dari kampus-kampus, cafe sampai studio seniman membuka diri untuk kegiatan apresiasi film. Namun di tahun 2002 tidak lebih dari lima yang masih bertahan dengan kegiatannya. Dan Forum Film Bandung? Bertahan sebatas seremonial penganugrahan award.

Memang, tidak banyak ajang film yang cukup menjadi barometer perkembangan film komunitas film di Bandung. Meski Festival Film Independen garapan Konfiden, pertama kali diadakan di Bandung, namun kelanjutan ajang serupa selalu saja berhenti sebatas gagasan. Pusat kebudayaan asing seperti CCF, Erasmus Huis dan British Council, yang memboyong festival filmnya ke Bandung, juga tidak menampilkan pilihan selengkap Jakarta.

Jika seperti mode yang seringkali berulang, tahun 2002 ini, apresiator film di Bandung bisa bersenang hati, bayak event film yang telah berlangsung maupun akan berlangsung di kota Bandung. Mulai dari British Film Festival, Festival Sinema Perancis, JIFFEST Film Travelling yang semuanya memang kegiatan tahunan, dan tahun ini pula Dutch Film Festival sempat mampir di Bandung meski publikasinya tidak segencar event film serupa.

Peristiwa lain yang penting untuk dicatat adalah Bandung Video, Film and New Media Art Forum, ajang eksibisi film, video dan performance art yang mengeksplorasi media baru dalam karya rupa dan pertunjukan, dan film menjadi media baru yang terus diekplorasi. Sebuah sinergi yang patut dicermati. Event seperti ini bisa menjadi penanda sekaligus barometer perkembangan film atau video art, yang dapat menjadi eksplorasi visual artistik, bahkan mungkin referensi artistik dunia perfilman kita. Hanya saja untuk event seperti ini, saya selalu cemas, jika ini adalah peristiwa yang lahir sekali sesudah itu mati.

Tak kalah menarik pada event yang akan datang, yaitu pada pertengahan Oktober. Apa yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya TRAFFIC (Territorial Research For Independent Film Community), yang akan menggelar Bandung Hair Cut Film Festival 2002 yang menampilkan video dokumentasi lokal band-band Bandung dan film-film dokumentasi musik. Dengan upaya mengusung wacana sub kultur Bandung yang kuat, event ini merupakan eksibisi film perjalanan musik baik yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi dalam komunitas musik Bandung. Maka sebut saja film dokumenter Grunge From Seattle (Seattle Sound) dimana pada pertengahan 90-an, Seattle Sound memberikan pengaruhnya yang kentara dari mulai musik dan gaya berpakaian anak muda Bandung. Karya-karya Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, seolah menjadi lagu wajib di setiap pertunjukan musik pada masa itu. Pada dekade itu pula komunitas-komunitas film ada dan bergerak masing-masing. Berkarya sebagai sebuah kesenangan, jika disebut sebuah gerakan pun, tidak terdengar iramanya.

Apa yang dilakukan TRAFFIC sendiri masih dalam rangka pemetaan komunitas film di Bandung saat ini. Upaya mereka menggelar event berbasis sub kultur Bandung, mengobati kerinduan banyak pihak yang mendambakan event yang jadi penanda identitas kultural anak muda Bandung. Kelompok-kelompok sub kultur Bandung ini memiliki karakter tersendiri yang tercipta atas pemahaman Think Globally Act Locally, menjadi bagian dari masyarakat global tanpa harus kehilangan ciri khas lokal dan kepekaan lokal. Ini menarik, karena ditengah-tengah arus kebangkitan dunia film nasional, kelompok ini menyikapinya dengan membaca ulang peta lokal dan mencoba menampilkan wacana sub kultur yang selama ini termarjinalkan, menjadi resistan, sekaligus memiliki kekuatannya sendiri di Bandung.

Berkembangnya distro yang memiliki peranan penting dalam mendistribusikan mini album, clothing lokal, penyebaran publikasi acara sub kultur, dan yang tak kalah penting adalah dukungan finansial untuk gerakan sub kultur Bandung. Majalah lokal Bandung seperti Trolley (almarhum), Ripple dan Board Riders, serta Zine komunitas, muncul menjadi agen mediasi event-event sub kultur Bandung. Semua ini menjadi scene yang khas dalam perkembangan identitas kultural anak muda Bandung, sekaligus juga potensi alternatif untuk terciptanya jalur distribusi independen bahkan warna baru dalam perkembangan wacana perfilman lokal maupun nasional.

Hal lain yang justru tidak disangka-sangka di tahun 2002 ini, muncul dari anak-anak SMP di dua Sekolah Menengah Pertama di Bandung: SMPN 9 (Hanya Kacamata yang Tahu jawabannya) dan SMP Taruna Bakti (Bingkisan), Film mereka dari hasil workshop karya Kita Bengkel Film Pemula (Bandung, 2001), terpilih sebagai 4 film pilihan dewan juri (2 diantaranya dari Bandung), pada Malam Penghargaan Karya Kita, Bengkel Festival Film Pemula, di Jakarta, 11 Agustus 2002 yang lalu, setelah bertarung dengan karya-karya teman-teman sebaya mereka dari beberapa daerah di Indonesia (Yogyakarta, Surabaya, Makasar, Jakarta).

Dari hiruk pikuk event film yang digelar, juga kemunculan baru komunitas-komunitas film di Bandung, semoga ini menjadi pertanda, geliat komunitas film Bandung bukan sekedar gerakan malas-malasan yang sesudah itu kembali tidur, tapi lebih pada keberanian untuk menjadi diri sendiri, menampilkan identitas kulturalnya sebagai bagian dari masyarakat global. Jadi, bagi perfilman Bandung sekarang, Support and Enjoy Your Own Videos, sementara cukuplah!

Penulis: Tarlen Handayani
Sumber: http://vitarlenology.blogspot.com
Catatan: Pada saat tulisan ini selesai di buat, ternyata acara TRAFFIC batal diselenggarakan karena ketidak tersediaan dana dan sumber daya yang memadai.

* Tulisan ini pernah dimuat di majalah Aksara, 2002

Kamis, 20 April 2006

Kini, tak begitu susah menemukan poster film Indonesia terpampang di bioskop. Sebuah perkembangan yang patut disambut gembira. Berbicara perfilman nasional, tentu tidak terlepas dari fenomena film indie. Bagaimana perkembangannya sekarang?

BOLEH dikatakan, Bandung layak menyandang predikat sebagai salah satu barometer film indie. Lihat saja kegiatan festival, diskusi, workshop, dsb., yang sering mondar-mandir di kampus, sekolah, atau berbagai komunitas di Bandung. Belum lagi, yang muncul di ruang publik lain, seperti kafe, sebagai salah satu alternatif hiburan.

Adalah Salman Filmmaker Club (Salman FM Club), salah satu komunitas di Bandung yang cukup konsisten dalam memproduksi film. Berdiri sejak Maret 2001, Salman FM Club telah membuat 40-an film, baik film pendek maupun film panjang. Kebanyakan dikerjakan bersama Forum Filmmaker Pelajar Bandung (F2PB), sebuah forum khusus pelajar SMU yang dibentuk Salman FM Club. Tercatat sekira 200 orang pelajar SMU yang menjadi anggota. Salah satu filmnya, Ben, dengan asistensi Budiyati Abiyoga –produser film senior, bahkan ikut serta dalam Cannes Film Festival 2006.

Semangat indie dikenal dengan do it yourself. Apalagi dengan kemudahan teknologi, hampir semua orang dapat membuat film. Tinggal pakai handycam, beli kaset, lalu edit di komputer, beres! Namun Iqbal Alfajri, salah satu penggagas Salman FM Club, berpendapat bahwa film indie tidak hanya faktor “semuanya dikerjakan sendiri”. “Film indie harus ada spirit juga,” kata laki-laki lulusan FSRD ITB angkatan 1996 ini. Kampus berbicara dengan Iqbal seputar spirit film indie, distribusi, kompetisi, sampai pada iklim kebebasan berekspresi, di Sekretariat Salman FM Club di Gedung Kayu lantai 3 kompleks Masjid Salman ITB. Berikut petikan wawancaranya:

Kenapa pelajar SMU yang menjadi sasarannya?

Kalau mahasiswa, rata-rata sudah punya pemikiran relatif stabil. Kita coba masuk ke SMU, karena kita lihat, mereka masih mencari-cari. Jadi kita arahnya lebih pada pembinaan pelajar. Beda kalau ke mahasiswa, kita arahnya lebih pada fasilitator. Kita memang tidak berharap para pelajar tersebut langsung jago bikin film, tapi kita berharap, mereka bisa membuat sesuatu di usia muda.

Sekarang memang cukup banyak anak muda yang coba bikin film. Tapi seringkali mereka terhambat di distribusi. Mau ke mana kalau film itu sudah jadi? Sebenarnya bagaimana?

Jaringan film indie memang tidak semapan jaringan distribusi film komersial, di mana jelas kan, ada bioskopnya, ada pebisnisnya, dsb. Yang namanya festival mah tiap tahun pasti ada. Tapi kalau distribusi yang sifatnya terstruktur, saya kira itu belum. Tapi kita menyiasatinya begini. Sekarang kita melihat distribusi film itu lebih luas. Makanya kita lari ke potensi pelajar. Di kurikulum kan sudah ada kewajiban membuat film (pelajaran bahasa Indonesia). Film kita akhirnya jadi referensi guru-guru. Kita mah gerilya saja. Kita juga kasih langsung ke orang film. Pokoknya begini, bagaimanapun caranya film indie harus tetap eksis!

Kalau ke stasiun TV lokal?

Kita pernah coba. Tapi kita lihat, mereka terlalu biasa dalam pengelolaannya. Cuma diputar saja. Ya mbok diundang orang-orang yang membuatnya untuk bicara tentang karyanya. Karena film itu kan tidak terlepas dari pertanggungjawaban. Apalagi film indie. Itu bisa saja berbahaya, karena lebih bebas berekspresi.

Kalau Anda sendiri, seberapa ingin film Anda diputar di bioskop? Atau tidak terlalu peduli, karena yang penting adalah proses berkaryanya?

Kalau di Jerman, film indie rutin diputar di bioskop. Ada peraturan bahwa wajib memutar film indie setengah jam sebelum pemutaran film. Rasionya begini, kalau ada 10 film diputar, maka minimal harus ada 2 film indie yang diputar. Jadi, ada penghargaan dan kejelasan. Kalau di Australia, ada stasiun yang fokus ke film indie. Kalau Amerika lebih hebat lagi. Amerika ada festival film indie (Sundance Film Festival) yang dibiayai oleh orang-orang film Hollywood sendiri. Karena Hollywood memang mencari sutradara untuk diorbitkan, dari festival itu.

Nah, kalau di kita serba tidak jelas. Tapi, pokoknya film indie harus tetap eksis. Tantangan memang cukup berat. Kalau bicara semangat, selama 5 tahun ini, bisa dibilang turun terus. Ha haha… Tapi ketika ketemu lagi sama orang-orang film, kita jadi semangat lagi. Apresiasi, motivasi dan pujian dari mereka, membuat kita terbakar lagi. Walaupun sampai saat ini, penghargaan masih dalam bentuk penghargaan personal. Belum ada lembaga yang tiba-tiba datang, lalu kasih duit, nih untuk buat film. Ha..ha…

Kalau bicara film indie, sering dikontrakan dengan “major label”. Sedangkan ada pendapat bahwa di Indonesia, “major label” film pun belum ada yang mapan. Jadi, film indie itu apa?

Saya sepakat dengan Garin Nugroho. Garin bilang, film indie itu, orang-orangnya masih bebas. Dalam arti, punya konsep dan idealisme, dan itu tergambar dalam filmnya. Tidak ikut trend dan main di mainstream. Dia juga bisa mempertanggungjawabkan karya dia. Kalau asal, itu bukan mental seorang filmmaker. Tidak semena-mena juga, bilang “Saya bisa bikin film sendiri nih.” Bukan berarti itu film indie. Dilihat dulu! Banyak loh, anak-anak yang buat film, tapi mirip sinetron. Apa itu film indie? Bukan! Itu film mainstream, walaupun semua dibuat sendiri.

Jadi, film indie bukan sekadar “do it yourself”?

Tidak hanya itu, tapi ada spirit juga. Kalau bicara definisi, yang jelas film itu dibuat berdasarkan kebutuhan. Bukan iseng atau hobi, tapi dia butuh untuk buat film. Misalnya, saya konsentrasi ke dunia remaja. Lalu saya lihat sinetron remaja, banyak yang tidak benar. Lalu saya buat saja film remaja. Itu kebutuhan kan? Seperti waktu kita putar film Ben di sebuah SMU. Mereka bilang, “Wah, kalau sinetron seperti ini, kita mau nonton.” Itu bukti bahwa sebenarnya mereka butuh, tapi di pasar tidak ada. Kalau sinetron kan, kebanyakan sekadar memenuhi pasar. Jadi, kita melihat masalah, dan dari nilai-nilai yang diyakini, kita berusaha menjawabnya lewat film.

Kalau bicara iklim kebebasan berekspresi dan berkreativitas, bagaimana?

Di Indonesia, selama belum ada undang-undangnya, sebenarnya momen yang baik untuk berkembang. Di undang-undang perfilman, belum ada yang mengatur khusus film indie. Memang ada Lembaga Sensor Film (LSF). Tapi sampai hari ini, belum ada orang membuat film indie, separah apa pun, yang bermasalah atau ditangkap. Film yang menjelek-jelekkan pemerintah juga ada loh.

Dengan tidak ada peraturan, Anda senang?

Menurut saya, kalau kita mau jadi manusia yang beradab, kita mengatur diri sendiri. Tidak harus ada undang-undang. Plus-minusnya, kita jadi lebih cepat dewasa. Walaupun mungkin nanti ada korban-korbannya. Harapan saya, tidak usah ada undang-undang. Tapi, masyarakatnya harus siap. Nah, film indie kan beredarnya kebanyakan di kalangan tertentu, namun kalau untuk disiarkan ke publik yang lebih luas lagi, perlu ada regulasi juga. Jadi, ada yang harus diatur, ada juga yang harus diberi ruang.

Untuk penghargaan dan kompetisi film indie, bagaimana?

Saya belum terlalu puas. Penjuriannya kebanyakan tidak transparan. Untuk penjurian, jangankan festival film indie, Festival Film Indonesia (FFI) saja tidak transparan. Ha..ha… Di FFI, menentukan film terbaik, cuma oleh 10 orang. Kalau Piala Oscar kan sampai ribuan jurinya. Itu FFI, lalu bagaimana festival film indie, yang mungkin jurinya saja tidak dibayar? Terus terang kalau saya lebih pilih di luar negeri. Karena di Indonesia tidak jelas dan tidak ada atmosfer kompetisinya, tahu-tahu menang saja entah siapa. Banyak yang kecewa loh.

Siapa sih yang harus peduli sama film indie?

Pertama ya dari orang film sendiri. Mereka yang senior dan bisa jadi patron. Misalnya, orang seperti Slamet Rahardjo. Sudahlah dia tidak usah bikin film lagi, tapi dia jadi bapak film Indonesia. Dia datang ke kantong-kantong film indie, kasih semangat, saran, dana juga kalau bisa. Nah, kalau pemerintah, yang terutama itu Depbudpar. Kita pernah juga ke Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Kita pernah membuat acara, diskusi dan macam-macam, tapi tidak didanai sama sekali. Padahal itu acara film yang seharusnya mereka bikin. Tadinya mereka juga menjanjikan bahwa acara itu bagian dari FFI. Ah, kalau bicara pemerintah, kekecewaan kita sih…sudahlah..Ha.. ha…

Penulis: Dewi Irma
Sumber: Pikiran Rakyat

Kamis, 6 Maret 2008

SAAT film pendek mulai booming di Indonesia sekitar tahun 1999 lewat festival film yang digelar oleh Konfiden, Dimas Jayasrana termasuk salah seorang yang terpengaruhi. Ia mulai tertarik menyelami dunia film, khususnya film alternatif. Hingga kini, ketertarikan itu telah membawanya menyentuh beragam lini film, dari mulai pembuat, penyelenggara festival, pembicara diskusi, hingga kurator, dan programmer film. Satu hal yang paling krusial sekaligus klasik dalam komunitas film adalah perkara jaringan. Maka, ia pun bergerak secara mandiri membuat database komunitas film di Indonesia.

Mulanya tahun 2002. Ketika itu, Dimas tengah magang di Konfiden. Suatu kali, ada diskusi bersama Mira Lesmana, Christiantowati, dan beberapa pegiat komunitas film. Kesimpulan dari diskusi yang dimoderatori olehnya itu, ternyata ada empat persoalan mendasar dalam komunitas film baik di kampus maupun nonkampus, yakni, jaringan, pendanaan, infrastruktur, dan pengetahuan manajemen kelompok.

Tiba tiba, it was knocking my head. Memang, jaringan dulu sih yang harus dibenahi. Misalnya, saya nggak punya ini, dan kamu punya, jadi kan bisa saling bantu“, kata Dimas. Kampus berbincang dengan lelaki kelahiran 3 Desember 1979 ini, dalam dua kali kesempatan. Pertama, saat ia hadir menjadi pembicara diskusi Ganesha Film Festival (Ganffest) ITB 2008, dan kedua, di lokasi kerjanya sebagai kurator dan programmer film CCF Jakarta, beberapa waktu lalu.

Idenya membuat database komunitas film direspon baik beberapa temannya yang siap membantu, walaupun pada akhirnya mereka berguguran di tengah jalan dan ia mengerjakan sendiri. Tentunya, dengan uang sendiri. “Metodenya sederhana, saya kumpulin data komunitas film lewat mailing list“, kata Dimas. Akhirnya, tahun 2003, ia mencetak buku saku berisi data 72 komunitas film Indonesia, dari beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Kalimantan.

Internet sungguh menolong ketika Dimas tak punya cukup uang untuk membuat edisi update buku data komunitas film tersebut. Projek itu pun ia ubah menjadi online version dengan alamat www.datakomunitas.wordpress.com, dan kini berpindah alamat ke www.filmalternatif.org. Bagaimana kebiasaan pengelolaannya? “Maintenance-nya bikin duit abis. Minimal menghabiskan 1,5 jam per hari, itu juga cuma buat menghapus spam dan ngecek-ngecek dikit aja“, kata Dimas, yang juga sempat bekerja sebagai programmer film di Goethe Institut, Jakarta, dan bagian riset dan dokumentasi ruang rupa.

Omong-omong istilah, Dimas lebih suka menyebut “film alternatif” dibandingkan dengan “film indie/independen”, yang boleh dibilang sudah overrated. Menurutnya, film alternatif cakupannya lebih luas, dari mulai film pendek, film dokumenter, dan film eksperimental. Independensi sendiri harusnya secara otomatis menjadi karakter diri. Pegiat film alternatif menurutnya memang perlu memiliki daya tahan luar biasa. Ia prihatin dengan komunitas film yang kerap muncul secara revolusioner, namun kerap mati dengan cara revolusioner pula. “Waktu meng-update data, dari 72 komunitas yang saya hubungi, ternyata hanya 4 yang merespons. Tetapi, sekarang, untungnya udah nambah lagi komunitasnya“, kata Dimas.

Persinggungan Dimas dengan dunia film sebenarnya dimulai ketika lelaki yang besar di Jakarta ini berkuliah di jurusan Bahasa Inggris Unsoed, Purwokerto. Kuliahnya memang tidak diselesaikan, namun ia mendapat hal lain di luar kampus dengan berkegiatan aktif selama di Purwokerto. Ia sempat mendirikan komunitas Youth Power yang acap kali membuat konser musik, seminar, sampai pemutaran film.

Meski baru tahu secuil informasi tentang film alternatif/film independen, dan dengan kemampuan teknis yang nihil, ia dan temannya memberanikan coba-coba membuat film. “Itu film pertama, yang kita tahu hanya tahu on off kamera aja, sisanya insting. Nunjukin karya juga belum pede. Tetapi, ternyata pas bikin screening yang datang 700 orang, sambutannya bagus, saya sampai keringat dingin“, kenang Dimas, yang hingga kini sudah membuat sekitar 40-an karya visual dalam bentuk film dan video.

Selain mengelola situsnya, kini ia meluncurkan pendirian lembaga yang bergerak pada distribusi film alternatif, bernama The Marshall. Ada 2 kompilasi yang sudah dirilis dalam bentuk DVD, yaitu, REPELITA I, URBANISASI (5 film dokumenter pendek tentang urbanisasi di Jakarta), dan Film Pendek Indonesia Terbaik Seleksi Konfiden Festival 2006. Lagi-lagi, ini proyek minim dana. “Ini bagian dari upaya pengarsipan karya juga“, katanya. Berikut obrolan lebih lanjut dengannya.

Bagaimana kesadaran komunitas film untuk berjejaring?
Kecil. Itu banyak faktornya. Mungkin mereka terlalu pusing dengan survival mereka sendiri. Kedua, ternyata memang kesadaran untuk berbagai itu less and less. Asumsi saya, orang lebih suka jadi pahlawan sendiri, daripada saling membantu. Saya sih sulit menjawabnya. Ya harus ubah paradigma. Saya suka nanya sama anak-anak kampus, ada berapa komunitas film di kotamu? Mereka suka nggak tahu. Terus, sudah berkoneksi dengan siapa saja? Paling sama Konfiden, gitu doang. Padahal, semua tuh ada, semua bisa dilakukan, tetapi mereka nggak mau berjejaring.

Sebenarnya kenapa dan apa yang didapat dari membuat projek database?
Ini pertanyaan ke sekian ribu, hehehe. Jawabnya sih sederhana saja. Kalau ada orang punya hobi modifikasi mobil, kenapa juga saya nggak boleh punya hobi pada film? Kedua, ada alasan emosional dan romantis, hehehe. Basically, semua motivasi saya adalah sharing power and knowledge. Nggak semua orang atau semua daerah bisa mengakses informasi dan infrastruktur memadai kan. Yang di kota besar enak, yang di kota kecil, ya begitulah.

Anak-anak dari kota besar suka sombong dan superior. Saya merasakan besar di Jakarta, dan sewaktu saya di Purwokerto, oh ini toh rasanya jadi anak daerah! Inequality-nya benar-benar terjadi. Padahal, komunitas film di kota kecil juga bergerak. Kemarin bahkan saya ngomong sama salah satu panitia Ganffest ITB, “Anak Purwokerto, Purbalingga, they’re much more professional than you”, tapi mungkin karena baru pertama bikin ya.

Komunitas film di kota mana yang paling agresif?
Belakangan ini saya lihat yang giat adalah Purbalingga. Mulai dari produksi, nanti Mei mereka mau bikin Festival Film Purbalingga, lalu mereka punya pemutaran film bulanan. Itu Cinema Lover Community (CLV), pendirinya Bowo Leksono. Di luar Jakarta, selain Purbalingga, ada Surabaya, Malang cukup aktif, Jember juga lagi mau bikin festival. Di luar Jawa, ada juga Makasar. Sebenarnya cukup merata sih, terlepas dari keterbatasan, tapi yang berkembang bukan kota besar aja.

Bagaimana perkembangan film alternatif di Indonesia secara umum? Kalau dilihat dari sisi pembuatnya, masih sekadar hobi?
Mungkin 80% iya. Kalau bikin film itu hanya hobi, that’s an expensive hobby. Harusnya bisa diseriusi juga, biar terlihat kita sudah berjalan sejauh apa. Film alternatif sendiri akan berkembang seiring industrinya. Sebab, itu cerminnya. Kalau industri mainstream-nya tidak berkembang, film alternatif mungkin sulit berkembang juga. Memang kadang nggak fair, ada film alternatif punya potensi bagus, tapi karena masalah dana, akhirnya harus dikurangi kualitasnya. Berbeda dengan mainstream, filmnya kacrut, tapi karena ada uang, ya jalan. Itu yang berbenturan.

Perkembangan film alternatif sih kembang kempis. Tersengal-sengal. Nggak ada parameter untuk mengukur perkembangannya. Kita nggak punya data. Berapa sih jumlah penonton bioskop Indonesia? Data dari produser bisa berbeda dengan data dari bioskop. Produser fungsinya publikasi, misalnya bilang, penonton filmnya 2 juta orang. Tiba-tiba bioskop melaporkan 800 ribu orang. Nggak ada yang jujur, yang satu untuk kepentingan jualan, yang satu untuk menghindari mahalnya bayar pajak. Nggak ada data yang valid, lalu bagaimana kita bisa bikin demografi penonton, misalnya?

Katanya, “mainstream” pun belum bisa dijadikan acuan…
Betul, akhirnya film alternatif harus berjuang sendiri membuat cerminannya. Coba lihat saja bioskop, ya begitulah kacrutnya film Indonesia. Jangan bilang, filmnya Nia Dinata kan bagus..ya itu kan Nia sendiri. Kita nggak lagi menilai film per film. Kalau misalnya setahun ada 50 film, tetapi yang bagus cuma 2, itu kan gila.

Saya bikin The Marshall, ini juga nggak ada cerminnya. Belum ada distributor film independen yang serius. Walau ini juga masih coba-coba, tapi kami ingin serius. Lalu persoalan lainnya, berapa sih film pendek harusnya dihargai? Itu nggak ada template-nya. Untuk The Marshall sih, saya beli putus hanya untuk kompilasi. Saya tidak memegang rights-nya. Berapanya, rahasia perusahaan, hehehe.

Bagi-bagi tugas antara produksi dan distribusi sepertinya juga masih kurang. Orang lebih suka jadi pembuat film dibanding membuka ruang untuk distribusi?
Ya. Karena yang dominan adalah mental selebritas. Orang kalau terjun di film, kalau nggak pengen jadi sutradara, ya aktornya. Makanya, perlu banget makin banyak berdiri ruang-ruang yang bisa jadi tempat filmmaker nge-share karyanya. Tetapi, ruang sebenarnya bukannya nggak ada kok. Di Bandung, misalnya, kurang apa sih? Ada galeri, ruang alternatif, distro, banyak deh. Ruang aktualisasi diri ada kok, tapi kadang itu malah bikin kita jadi orang yang malas.

Penulis: Dewi Irma
Sumber: Pikiran Rakyat