You are currently browsing the tag archive for the ‘Community’ tag.

Kamis, 20 Juli 2006

KOMUNITAS-komunitas kreatif yang berkembang dalam sepuluh terakhir ini, memberi warna baru dalam perkembangan Bandung sebagai satu kota. Bandung yang selama ini dikenal sebagai kota yang kreatif dalam melahirkan tren baru dalam gaya hidup, seperti tak pernah kehabisan ide dan gagasan kreatif.

Munculnya ruang-ruang pertemuan dan kegiatan yang mengakomodasi berbagai macam pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif, selama ini lebih banyak digagas secara mandiri oleh inisiatif individu atau kelompok.

Bersamaan dengan institusi-institusi formal lain yang bergerak di lingkup seni budaya, kerberadaan ruang-ruang inisiatif dan komunitas-komunitas yang ada, memiliki kontribusi yang penting dalam perkembangan budaya kota. Namun fakta bahwa komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif, yang mampu bertahan sangat sedikit, menunjukkan bahwa dan keberlanjutan keberadaan ruang-ruang tersebut menjadi isu yang serius untuk ditanggapi.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa waktu lalu, Pusat Studi Urban Desain, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Arsitektur ITB dan Common Room Networks Foundation, mencoba mengidentifikasikan, persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif itu melalui kegiatan gathering komunitas kreatif dan online conference dengan para pelaku komunitas di Bandung. Gathering dan online conference ini merupakan bagian dari kegiatan Artepolis yang bertujuan untuk menyoroti persoalan budaya kreatif dan pemaknaan ruang di Bandung.

Berbagai komunitas yang bergerak di bidang fashion, musik, perbukuan, media, dan pengelola ruang yang selama ini aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan di Bandung, berbagi pengalaman dan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka selama ini.

Tingginya Nilai Lahan
IF Venue, salah satu ruang inisiatif yang memulai aktivitasnya pada bulan Agustus 2004, terpaksa menutup ruangnya karena idealisme pengelolanya, harus berhadapan dengan harga sewa ruang yang setiap tahun bertambah mahal. “Kita tutup karena nggak mampu bayar kontrak. Harga sewa rumah yang asalnya Rp. 20 juta per tahun, naik jadi Rp. 27 juta pertahun“, Jelas Muhamad Akbar, salah satu pengelola IF Venue. “Kita sempat bikin pertunjukan untuk cari dana, tapi karena persiapannya mepet dan sumber dayanya terbatas, kegiatan yang harusnya menghasilkan uang untuk sewa tempat malah nombok.

Pada awalnya, IF venue, didirikan untuk menjadi ruang pengembangan kreativitas anak muda di Bandung. Saat itu, para pendirinya mendapatkan sejumlah dana dari sebuah organisasi sosial yang mendukung realisasi berdirinya ruang inisiatif tersebut. Bantuan tersebut mereka anggap sebagai modal awal untuk aktivitas mereka.

Sebelum ditutup, IF venue yang terletak di jalan Moch. Toha, dikenal oleh sebagian anak muda Bandung, sebagai ruang yang rutin menyelenggarkan kegiatan-kegiatan pameran, pertunjukan musik underground, diskusi dan pemutaran film. Untuk membiayai kegiatan mereka, salah satu ruangan, dijadikan studio musik untuk disewakan, juga ada toko baju dan coffe shop kecil, namun pemasukannya tidak dapat menutupi kebutuhan operasional mereka.

Kebutuhan ruang-ruang di lokasi strategis untuk beraktifitas dan keterbatasan lahan yang tersedia, semakin membuat harga sewa ruang dan lahan menjadi semakin mahal. Tidak adanya pengaturan, tata guna lahan yang jelas oleh pengelola kota, harga sewa ditetapkan secara sepihak oleh para pemilik ruang.

Jalan Trunojoyo, dulu sewanya cukup murah kalau mau buka usaha di situ, sekarang setiap tahun naik hampir Rp. 15 juta. “Sekarang sewanya bisa sampai seratus juta rupiah per tahun. Dan itu bikin biaya operasional tambah mahal, pengaruhnya ke harga jual produk juga“, kata Dendy pemilik 347 dan pengelola ruang Room No.1.

Infrastruktur dan Birokrasi
Di Bandung cuma sedikit tempat yang bisa dipakai untuk pertunjukan dan itu pun harga sewanya mahal, lagi pula sulit mencari tempat yang sesuai dengan jenis pertunjukannya“, keluhan serupa diungkapkan Wale, salah satu penggiat Komunitas Berandalan Bandung, yang pada bulan Juni lalu sempat menggelar konser, grup punk legendaris dari USA, The Exploited, di stadion Persib, Bandung.

Bandung butuh gedung yang bisa menampung audience sampai 10.000 orang, sementara tempat-tempat pertunjukan yang ada paling banyak hanya 2.000 sampai 5.000 orang. Sering kejadian penontonnya banyak dan gedungnya nggak muat“, lanjut Wale.

Maka itu jangan heran, jika ruang-ruang seperti AACC, Auditorium CCF, bisa dipakai untuk segala pertunjukan musik. Di pertengahan 90 sampai akhir 90-an, Gelora Saparua, identik dengan pertunjukan musik punk, hard core. Namun saat ini, karena kondisi gedung yang sudah tidak layak, membuat komunitas punk, hardcore, kesulitan mencari ruang pertunjukan musik mereka. Sementara gedung pertunjukan seperti Sabuga, tak terjangkau bagi komunitas. Mengingat, seringkali penyelenggaraan kegiatan dilakukan dengan dana swadaya komunitas dan sponsor yang terbatas. Modal terbesar yang mereka miliki adalah semangat dan keinginan yang kuat untuk mengekspresikan aspirasi estetiknya.

Belum lagi persoalan perizinan dan birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan. Helvi, pendiri Fast Foward Record yang beberapa waktu lalu sempat mengundang King of Convenience, grup musik asal Norwegia, berharap pemerintah kota dapat memberikan keringanan pajak dan visa kerja terhadap band-band yang akan tampil di Bandung. “Kayak 100 Rock Festival di Bangkok, Dinas Pariwisatanya yang dukung, lalu kerja sama dengan swasta, jadi banyak biaya yang bisa di tekan.

Disadari atau tidak oleh pengelola kota, kegiatan konser bertaraf internasional seperti ini, dapat mendukung kegiatan pariwisata Kota Bandung.

Sementara, tidak semua orang memiliki akses terhadap ruang-ruang milik pemerintah kota dan menggunakannya sebagai community center. Jika dapat menggunakan fasilitas yang tersedia, seringkali tak sesuai dengan kebutuhan yang menunjang kegiatan.

Tubagus Adhi, dari Forum Apresiasi Budaya atau lebih dikenal dengan nama LINKART, selama ini menjalankan aktivitasnya dengan memanfaatkan ruang yang ada di Kompleks Taman Budaya. “Kebetulan saat itu posisinya sebagai konsultan Taman Budaya. Cuma ga ada uangnya. Bagi saya nggak papa, dan saat itu saya menemukan ruang audio visual dan perpustakaan yang berantakan sekali. Akhirnya ya kita memanfaatkan itu.

Aktivitas dilakukan oleh LINKART, di antaranya pendokumentasian seni budaya dan program tur keliling kota, yang tujuannya untuk memperkenalkan sejarah Bandung pada kalangan muda. Namun, seperti halnya komunitas lain, untuk membiayai aktivitasnya, LINKART masih mengandalkan dana swadaya dari para pengurusnya.

Persoalan Bersama
Achmad D. Tardiyana, selaku fasilitator dan penanggung jawab kegiatan gathering, memandang persoalan ini lebih optimis. Menurutnya, salah satu kunci kegiatan kreatif itu adalah survival. Kendala-kendala itu justru mendorong mereka untuk bisa menemukan cara dalam mengatasi persoalannya. Kreativitas justru seringkali muncul dari keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Meski demikian, tetap saja peranan pengelola kota sangat diperlukan. Penataan ruang kota Bandung yang bisa mengakomodasi potensi kreatif warganya, sudah semestinya diakomodasi dan difasilitasi. Jika pengelola Kota melihat komunitas kreatif sebagai potensi kota yang membentuk identitas Bandung sebagai kota kreatif, sudah saatnya, apa yang menjadi persoalan komunitas ini, juga menjadi persoalan yang perlu dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama.

Penulis: Tarlen Handayani
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Pelaksanaan pengadaan Focus Group Discussion (FGD) pada bulan Mei mendatang semakin dikonsep secara serius. Rencananya FGD akan dilangsungkan pada tanggal 12-15 Mei 2008. Sebelum memulai perencanaan pembentukan FGD, tim dari SP perlu mengetahui gambaran awal akan kondisi industri kreatif di Bandung. Oleh karena itu, Yasmin Kartikasari, salah seorang dari tim SP yang sedang membuat tesis dengan tema industri kreatif, diminta untuk mempresentasikan (gambaran) tesisnya.

Tesis Yasmin sendiri memfokuskan pada 3 penggolongan industri kreatif, yaitu (independent) Clothing, Musik, dan Film. Presentasi dimulai dengan menjelaskan mengenai tujuan tesis yaitu menemukan variable dan aktor-aktor yang berperan dalam jaringan industri kreatif di Bandung, serta peran masing-masing dan relasi yang terbentuk diantara mereka dan ditutup dengan menayangkan beberapa foto kegiatan kreatif yang terjadi di Bandung dalam kurun waktu 6 bulan kebelakang.

Berangkat dari gambaran tersebut, akhirnya muncul beberapa pertanyaan umum yang akan diajukan pada saat FGD mendatang, diantaranya adalah:

  1. Bagaimana proses penyebaran pengetahuan di dalam perkembangan industri kreatif termasuk dalam kaitannya dengan pekerja (tempat produski/vendor)?
  2. Bagaimana para pelaku (komunitas/bisnis) menyikapi akan aktivitas jual/beli yang hanya peak pada weekend ataupun liburan panjang? (Bandung yang masih bergantung pada wisatawan Jakarta yang datang ke Bandung)?
  3. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam pengembangan industri kreatif?
  4. Lembaga mana saja yang membantu pengembangan usaha?
  5. Apa visi/misi/rencana jangka panjang para pelaku (komunitas/bisnis)?
  6. Bagaimana hubungan antara pelaku (komunitas/bisnis)?
  7. Bagaimana hubungan industri kreatif yang ada di Bandung dengan budaya lokal/tradisional?

Hingga akhirnya melakukan perombakan pada TOR dengan mengganti tujuan dan ouput awal. Akhirnya disepakati tujuan pengadaan FGD ini adalah menjembatani (mengkomunikasikan) para/sesama stakeholders dalam mengembangkan industri kreatif, merumuskan pengembangan kebijakan industri kreatif di Jawa Barat, Bandung pada khususnya, mengetahui potensi dan kendala yang dihadapi oleh pelaku industri kreatif di Bandung. Sedangkan output yang ingin dicapai adalah tersusunnya peta isu industri kreatif yang berkaitan dengan para stakeholder, mencakup kondisi yang telah ada, kondisi yang diharapkan dan pengembangan kebijakan.

Penulis: Yasmin Kartikasari

Kamis, 6 Maret 2008

SAAT film pendek mulai booming di Indonesia sekitar tahun 1999 lewat festival film yang digelar oleh Konfiden, Dimas Jayasrana termasuk salah seorang yang terpengaruhi. Ia mulai tertarik menyelami dunia film, khususnya film alternatif. Hingga kini, ketertarikan itu telah membawanya menyentuh beragam lini film, dari mulai pembuat, penyelenggara festival, pembicara diskusi, hingga kurator, dan programmer film. Satu hal yang paling krusial sekaligus klasik dalam komunitas film adalah perkara jaringan. Maka, ia pun bergerak secara mandiri membuat database komunitas film di Indonesia.

Mulanya tahun 2002. Ketika itu, Dimas tengah magang di Konfiden. Suatu kali, ada diskusi bersama Mira Lesmana, Christiantowati, dan beberapa pegiat komunitas film. Kesimpulan dari diskusi yang dimoderatori olehnya itu, ternyata ada empat persoalan mendasar dalam komunitas film baik di kampus maupun nonkampus, yakni, jaringan, pendanaan, infrastruktur, dan pengetahuan manajemen kelompok.

Tiba tiba, it was knocking my head. Memang, jaringan dulu sih yang harus dibenahi. Misalnya, saya nggak punya ini, dan kamu punya, jadi kan bisa saling bantu“, kata Dimas. Kampus berbincang dengan lelaki kelahiran 3 Desember 1979 ini, dalam dua kali kesempatan. Pertama, saat ia hadir menjadi pembicara diskusi Ganesha Film Festival (Ganffest) ITB 2008, dan kedua, di lokasi kerjanya sebagai kurator dan programmer film CCF Jakarta, beberapa waktu lalu.

Idenya membuat database komunitas film direspon baik beberapa temannya yang siap membantu, walaupun pada akhirnya mereka berguguran di tengah jalan dan ia mengerjakan sendiri. Tentunya, dengan uang sendiri. “Metodenya sederhana, saya kumpulin data komunitas film lewat mailing list“, kata Dimas. Akhirnya, tahun 2003, ia mencetak buku saku berisi data 72 komunitas film Indonesia, dari beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Kalimantan.

Internet sungguh menolong ketika Dimas tak punya cukup uang untuk membuat edisi update buku data komunitas film tersebut. Projek itu pun ia ubah menjadi online version dengan alamat www.datakomunitas.wordpress.com, dan kini berpindah alamat ke www.filmalternatif.org. Bagaimana kebiasaan pengelolaannya? “Maintenance-nya bikin duit abis. Minimal menghabiskan 1,5 jam per hari, itu juga cuma buat menghapus spam dan ngecek-ngecek dikit aja“, kata Dimas, yang juga sempat bekerja sebagai programmer film di Goethe Institut, Jakarta, dan bagian riset dan dokumentasi ruang rupa.

Omong-omong istilah, Dimas lebih suka menyebut “film alternatif” dibandingkan dengan “film indie/independen”, yang boleh dibilang sudah overrated. Menurutnya, film alternatif cakupannya lebih luas, dari mulai film pendek, film dokumenter, dan film eksperimental. Independensi sendiri harusnya secara otomatis menjadi karakter diri. Pegiat film alternatif menurutnya memang perlu memiliki daya tahan luar biasa. Ia prihatin dengan komunitas film yang kerap muncul secara revolusioner, namun kerap mati dengan cara revolusioner pula. “Waktu meng-update data, dari 72 komunitas yang saya hubungi, ternyata hanya 4 yang merespons. Tetapi, sekarang, untungnya udah nambah lagi komunitasnya“, kata Dimas.

Persinggungan Dimas dengan dunia film sebenarnya dimulai ketika lelaki yang besar di Jakarta ini berkuliah di jurusan Bahasa Inggris Unsoed, Purwokerto. Kuliahnya memang tidak diselesaikan, namun ia mendapat hal lain di luar kampus dengan berkegiatan aktif selama di Purwokerto. Ia sempat mendirikan komunitas Youth Power yang acap kali membuat konser musik, seminar, sampai pemutaran film.

Meski baru tahu secuil informasi tentang film alternatif/film independen, dan dengan kemampuan teknis yang nihil, ia dan temannya memberanikan coba-coba membuat film. “Itu film pertama, yang kita tahu hanya tahu on off kamera aja, sisanya insting. Nunjukin karya juga belum pede. Tetapi, ternyata pas bikin screening yang datang 700 orang, sambutannya bagus, saya sampai keringat dingin“, kenang Dimas, yang hingga kini sudah membuat sekitar 40-an karya visual dalam bentuk film dan video.

Selain mengelola situsnya, kini ia meluncurkan pendirian lembaga yang bergerak pada distribusi film alternatif, bernama The Marshall. Ada 2 kompilasi yang sudah dirilis dalam bentuk DVD, yaitu, REPELITA I, URBANISASI (5 film dokumenter pendek tentang urbanisasi di Jakarta), dan Film Pendek Indonesia Terbaik Seleksi Konfiden Festival 2006. Lagi-lagi, ini proyek minim dana. “Ini bagian dari upaya pengarsipan karya juga“, katanya. Berikut obrolan lebih lanjut dengannya.

Bagaimana kesadaran komunitas film untuk berjejaring?
Kecil. Itu banyak faktornya. Mungkin mereka terlalu pusing dengan survival mereka sendiri. Kedua, ternyata memang kesadaran untuk berbagai itu less and less. Asumsi saya, orang lebih suka jadi pahlawan sendiri, daripada saling membantu. Saya sih sulit menjawabnya. Ya harus ubah paradigma. Saya suka nanya sama anak-anak kampus, ada berapa komunitas film di kotamu? Mereka suka nggak tahu. Terus, sudah berkoneksi dengan siapa saja? Paling sama Konfiden, gitu doang. Padahal, semua tuh ada, semua bisa dilakukan, tetapi mereka nggak mau berjejaring.

Sebenarnya kenapa dan apa yang didapat dari membuat projek database?
Ini pertanyaan ke sekian ribu, hehehe. Jawabnya sih sederhana saja. Kalau ada orang punya hobi modifikasi mobil, kenapa juga saya nggak boleh punya hobi pada film? Kedua, ada alasan emosional dan romantis, hehehe. Basically, semua motivasi saya adalah sharing power and knowledge. Nggak semua orang atau semua daerah bisa mengakses informasi dan infrastruktur memadai kan. Yang di kota besar enak, yang di kota kecil, ya begitulah.

Anak-anak dari kota besar suka sombong dan superior. Saya merasakan besar di Jakarta, dan sewaktu saya di Purwokerto, oh ini toh rasanya jadi anak daerah! Inequality-nya benar-benar terjadi. Padahal, komunitas film di kota kecil juga bergerak. Kemarin bahkan saya ngomong sama salah satu panitia Ganffest ITB, “Anak Purwokerto, Purbalingga, they’re much more professional than you”, tapi mungkin karena baru pertama bikin ya.

Komunitas film di kota mana yang paling agresif?
Belakangan ini saya lihat yang giat adalah Purbalingga. Mulai dari produksi, nanti Mei mereka mau bikin Festival Film Purbalingga, lalu mereka punya pemutaran film bulanan. Itu Cinema Lover Community (CLV), pendirinya Bowo Leksono. Di luar Jakarta, selain Purbalingga, ada Surabaya, Malang cukup aktif, Jember juga lagi mau bikin festival. Di luar Jawa, ada juga Makasar. Sebenarnya cukup merata sih, terlepas dari keterbatasan, tapi yang berkembang bukan kota besar aja.

Bagaimana perkembangan film alternatif di Indonesia secara umum? Kalau dilihat dari sisi pembuatnya, masih sekadar hobi?
Mungkin 80% iya. Kalau bikin film itu hanya hobi, that’s an expensive hobby. Harusnya bisa diseriusi juga, biar terlihat kita sudah berjalan sejauh apa. Film alternatif sendiri akan berkembang seiring industrinya. Sebab, itu cerminnya. Kalau industri mainstream-nya tidak berkembang, film alternatif mungkin sulit berkembang juga. Memang kadang nggak fair, ada film alternatif punya potensi bagus, tapi karena masalah dana, akhirnya harus dikurangi kualitasnya. Berbeda dengan mainstream, filmnya kacrut, tapi karena ada uang, ya jalan. Itu yang berbenturan.

Perkembangan film alternatif sih kembang kempis. Tersengal-sengal. Nggak ada parameter untuk mengukur perkembangannya. Kita nggak punya data. Berapa sih jumlah penonton bioskop Indonesia? Data dari produser bisa berbeda dengan data dari bioskop. Produser fungsinya publikasi, misalnya bilang, penonton filmnya 2 juta orang. Tiba-tiba bioskop melaporkan 800 ribu orang. Nggak ada yang jujur, yang satu untuk kepentingan jualan, yang satu untuk menghindari mahalnya bayar pajak. Nggak ada data yang valid, lalu bagaimana kita bisa bikin demografi penonton, misalnya?

Katanya, “mainstream” pun belum bisa dijadikan acuan…
Betul, akhirnya film alternatif harus berjuang sendiri membuat cerminannya. Coba lihat saja bioskop, ya begitulah kacrutnya film Indonesia. Jangan bilang, filmnya Nia Dinata kan bagus..ya itu kan Nia sendiri. Kita nggak lagi menilai film per film. Kalau misalnya setahun ada 50 film, tetapi yang bagus cuma 2, itu kan gila.

Saya bikin The Marshall, ini juga nggak ada cerminnya. Belum ada distributor film independen yang serius. Walau ini juga masih coba-coba, tapi kami ingin serius. Lalu persoalan lainnya, berapa sih film pendek harusnya dihargai? Itu nggak ada template-nya. Untuk The Marshall sih, saya beli putus hanya untuk kompilasi. Saya tidak memegang rights-nya. Berapanya, rahasia perusahaan, hehehe.

Bagi-bagi tugas antara produksi dan distribusi sepertinya juga masih kurang. Orang lebih suka jadi pembuat film dibanding membuka ruang untuk distribusi?
Ya. Karena yang dominan adalah mental selebritas. Orang kalau terjun di film, kalau nggak pengen jadi sutradara, ya aktornya. Makanya, perlu banget makin banyak berdiri ruang-ruang yang bisa jadi tempat filmmaker nge-share karyanya. Tetapi, ruang sebenarnya bukannya nggak ada kok. Di Bandung, misalnya, kurang apa sih? Ada galeri, ruang alternatif, distro, banyak deh. Ruang aktualisasi diri ada kok, tapi kadang itu malah bikin kita jadi orang yang malas.

Penulis: Dewi Irma
Sumber: Pikiran Rakyat

Jumat, 9 November 2007

Bandung Creative City (BCC) akan dimulai pada Agustus 2008, di mana sejumlah negara secara rutin akan memantau perkembangan Bandung sebagai pilot project industri kreatif hingga Agustus 2010.

Berikut ini wawancara Bisnis dengan Direktur Urbane Indonesia M. Ridwan Kamil mengenai konsep, proses perjalanan dan tujuan BCC dilihat dari kacamata pelaku industri kreatif.

Apa konsep BCC menurut Anda sebagai perwakilan Indonesia pada pertemuan di Yokohama Juli lalu?

Sebenarnya proyek ini merupakan kampanye untuk menciptakan kesadaran dan kepedulian dunia internasional terhadap potensi Bandung sebagai kota kreatif. Tentu saja sebelum kampanye ke luar, seluruh komponen yang ada di Kota Bandung mulai dari pemerintah hingga masyarakat harus mengerti dan peduli.

Seberapa besar potensi Bandung untuk bersaing menjadi kota kreatif di tingkat internasional?

Bandung punya potensi besar untuk mengembangkan kehidupan masyarakat berdasarkan kreativitas. Berawal dari individu kreatif, komunitas kreatif, industri kreatif, ekonomi kreatif, hingga kota kreatif. Sebenarnya hal ini sudah ada di Bandung, hanya belum terpetakan dengan baik dan dikelola secara maksimal.

Tantangan apa yang akan dihadapi selama mengembangkan BCC?

Tantangan terbesar adalah bagaimana menciptakan kepedulian publik, termasuk pemkot,dan mengubah kepedulian tersebut menjadi nilai ekonomis yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian Kota Bandung.

Apa tujuan akhir proyek ini selain meningkatkan ekonomi kota dan pengakuan internasional?

Kita ingin semua jaringan industri kreatif yang selama ini tidak terdata bisa terkumpul dan menarik kembali para insan kreatif Indonesia, khususnya Kota Bandung yang selama ini lari ke luar negeri akibat frustasi dengan tidak adanya dukungan dari pemerintah.

Tidak sedikit jumlah mereka yang lari ke Singapura, Hong Kong, hingga AS karena merasa kesulitan merealisasikan ide di Indonesia akibat sistem yang tidak mendukung. Padahal jumlah mereka cukup banyak dan pastinya akan terus bertambah.

Harapan Bandung sebagai kota kreatif bisa menarik perhatian mereka untuk kembali ke sini dan membangun ekonomi kreatif mulai dari Bandung.

Pewawancara: Fita Indah Maulani (Kontributor Bisnis Indonesia)
Sumber: Bisnis Indonesia Online

Jumat, 09 September 2007

Terpilihnya Bandung sebagai pilot project kota kreatif se-Asia Timur merupakan sebuah penghargaan sekaligus tantangan untuk membuktikan keandalan kota yang selama ini dikenal sebagai pionir perkembangan industri kreatif di Indonesia.

Berdasarkan catatan Bisnis, Kota Bandung terpilih sebagai proyek percontohan kota kreatif tersebut dalam pertemuan internasional kota berbasis ekonomi kreatif yang diikuti 11 negara di Yokohama Jepang akhir Juli 2007.

M. Ridwan Kamil, perwakilan dari Indonesia pada pertemuan tersebut, mempresentasikan daya tarik industri kreatif di Bandung yang dihasilkan oleh komunitas-komunitas yang berkembang sendiri selama 10 tahun terakhir dan produknya kini menjadi tren hidup kaum muda.

Perkembangan tersebut menjadi sebuah daya tarik, sehingga Bandung diberi kepercayaan untuk semakin memopulerkan semangat kota kreatif di dunia global melalui proyek percontohan ini.

Bandung Creative City (BCC), nama proyek ini, direncanakan berjalan selama tiga tahun mulai Agustus 2008. Sejauh ini beberapa elemen yang berpengaruh dalam proyek ini sudah melakukan berbagai persiapan, mulai dari komunitas kreatif yang ada hingga para pelaku industri kreatif.

Yudhi Soerjoatmodjo, Project Team Leader Learning and Creativity British Council, menegaskan BCC bukan untuk mendorong perkem-bangan industri kreatif di Kota Bandung.

Saat ini industri kreatif di Bandung sudah ber-gerak ke arah ekonomi kreatif dengan semangat komunitas tanpa mengandalkan donasi pihak tertentu seperti pemerintah ataupun lembaga lainnya“, ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.

Menurut dia, konsep program ini bertujuan untuk semakin meningkatkan kepopuleran Bandung sebagai kota kreatif di tingkat internasional. Tentu saja, sebelumnya segala elemen di kota ini harus mengerti dan mendukung demi kemajuan bersama.

Dia menjelaskan perlu dukungan penuh untuk mewujudkan BCC, terutama dari Pemkot Bandung. Pihak lainnya seperti komunitas, pelaku industri, dan sebagian besar masyarakat sudah menyatakan dukungannya terhadap BCC.

Komunitas kreatif, salah satunya melalui wadah Common Room, sudah bersiap diri untuk membantu berjalannya proyek kampanye, pemetaan, dan eksplorasi potensi dan pengembangan jaringan selama tiga tahun proyek ini.

Pelaku industri kreatif, lanjut Yudhi, yang juga berasal dari komunitas kreatif telah menyatakan dukungan untuk menjadikan Bandung sukses sebagai rujukan konsep kota kreatif yang dikenal dunia internasional.

Respons Pemkot Kurang
Sayangnya, respons Pemerintah Kota Bandung dirasa masih kurang. Ketika pemerintah pusat melalui Dirjen Perindustrian dalam dua tahun terakhir sudah memfasilitasi berbagai kegiatan kreatif di Bandung seperti dalam acara festival industri kreatif atau KICKFest, Pemkot Bandung masih meraba istilah industri kreatif itu sendiri.

Hal tersebut diakui dalam pidato Wali Kota Bandung Dada Rosada yang dibacakan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Tjetje Soebrata dalam pembukaan sebuah seminar internasional di Bandung 29 Oktober 2007.

Istilah industri kreatif masih dirasa baru dan belum terlalu dikenal oleh masyarakat, khususnya oleh Pemkot Bandung“, ujarnya.

Dia menjelaskan di dalam statistik perekonomian Kota Bandung, keuntungan-keuntungan dari industri kreatif belum secara khusus teridentifikasi. Namun, pemkot yakin industri kreatif memiliki potensi untuk maju dan menjadi industri utama di Bandung.

Menurut dia, Kota Bandung memiliki berbagai jenis universitas teknologi dan seni, yang berpotensi sebagai sumber kreativitas.

Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Tb. Fiki Cikara Satari mengatakan pelaku industri kreatif di Kota Bandung akan terus berjalan, dengan atau tanpa proyek BCC.

Selama 10 tahun terakhir kami berkembang dari sebuah komunitas hingga menjadi industri yang relatif maju saat ini. Pengembangan BCC selama tiga tahun sebenarnya menjadi sebuah pengakuan sekaligus momentum yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendongkrak pertumbuhan industri ini“, paparnya.

Menurut dia, konsep ekonomi kreatif merupakan jawaban untuk Indonesia, khususnya Kota Bandung untuk bersaing dengan negara lain dalam era global. Tentu saja kesiapan sumber daya manusia menjadi mutlak selain adanya ketersediaan sumber daya alam.

Bandung, tambahnya, memiliki potensi untuk mengembangkan hal tersebut. Iklim untuk ber-gerak secara kreatif sudah berkembang sejak dahulu di berbagai bidang seni mulai dari fashion, musik, hingga desain arsitektur.

Ketua Kadin Kota Bandung Deden Y Hidayat mengatakan siap mendukung program BCC selama memiliki kontribusi yang positif, terutama dalam menyerap tenaga kerja sehingga menurunkan angka pengangguran.

Kadin dalam satu tahun terakhir ini sudah mengembangkan industri kreatif baik dari segi peningkatan kualitas produksi dan sumber daya pelaku usahanya, hingga pengembangan pasar ke luar negeri“, ujarnya.

Dia menjelaskan Kadin Kota Bandung tahun ini berkonsentrasi mengembangkan pengusaha kecil yang bergerak dalam ekonomi kreatif melalui Badan Promosi dan pengelolaan Keterkaitan Usaha (BPPKU).

Selain itu, lanjutnya, Kadin membuka pasar ekspor melalui program kerja sama dengan kota lain yang berada di dekat negara lain seperti Batam dan Balikpapan.

Program Batam sudah berjalan. Beberapa pengusaha mulai memasarkan produknya hingga Singapura dan Malaysia. Dalam waktu dekat Balikpapan akan kami ajak kerja sama“, paparnya.

Menurut Deden, Pemkot Bandung sebaiknya juga memberikan peningkatan dukungan untuk industri kreatif. Pemkot selama setahun terakhir berkonsentrasi untuk mengembangkan lima kawasan industri yaitu Binong Jati, Cihampelas, Cibaduyut, Cigondewah, dan sentra kaos di Jl. Suci.

Padahal, lanjut Deden, terdapat puluhan ribu komunitas dan titik-titik perkembangan industri kreatif yang harus diperhatikan. (Hary Satriawan)

Sumber: Bisnis Indonesia Online