You are currently browsing the tag archive for the ‘Symposium’ tag.

Pada hari Rabu tanggal 2 April 2008 diadakan acara seminar nasional yang membahas berbagai hal tentang industri kreatif di Indonesia. Acara tersebut menghadirkan berbagai pemberi makalah dari lintas sektor. Hadir pula Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sebagai keynote speaker. Makalah yang dipresentasikan mengambil tema “kebijakan pemerintah dalam mendorong daya saing industri kreatif Indonesia di kancah global dari perspektif departemen perdagangan”.

Materi yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan adalah berbagai paparan yang menjelaskan peran Departemen Perdagangan dalam mendorong kemajuan industri kreatif di Indonesia. Beberapa langkah telah diambil oleh departemen perdagangan untuk mendukung kemajuan industri kreatif di Indonesia. Diantaranya membuat identifikasi dan karakteristik industri kreatif di Indonesia dan pembuatan cetak biru rencana pengembangannya.

Di bidang kebijakan Departemen Perdagangan telah menyusun perundang-undangan di bidang perdagangan yang di harapkan dapat meningkatkan daya saing produk industri kreatif dikancah internasional. Walaupun beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan seperti misalnya pembukaan kran import sebagai konsekuensi ikut serta dalam perdagangan bebas (WTO) bagi beberapa produk ternyata pada akhirnya telah mematikan beberapa sektor industri kreatif di Bandung. Contohnya beberapa sentra kerajinan sepatu di Cibaduyut terpaksa gulung tikar karena pasar dibanjiri sepatu produk Cina. Ada tiga masalah utama yang jadi perhatian Departemen Perdagangan yaitu masalah hak atas kekayaan intelektual, pendanaan/permodalan dan proses pengembangan desain dalam menciptakan pasar.

Acara seminar tersebut terbagi menjadi tiga sesi diskusi. Sesi pertama membahas tentang perkembangan industri kreatif yang dilihat dari berbagai aspek. Menghadirkan tiga pembicara yaitu Ramon Purba sebagai Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika Departemen Perindustrian. Dalam draft ‘rancangan peraturan Presiden RI tentang kebijakan pengembangan industri nasional’, industri yang diprioritaskan kedepan adalah lebih mengandalkan pada SDM berpengetahuan, kreatif, dan trampil. Dalam rangka jangka pengembangan industri penunjang industri kreatif dan industri kreatif tertentu atau bagian dari industri telematika merupakan salah satu klaster industri prioritas.

Sementara itu dari pihak PT Telkom menghadirkan Indra Utoyo sebagai Direktur IT/CEO PT Telkom yang memaparkan perkembangan industri kreatif banyak didukung oleh perkembangan di bidang teknologi digital. Sebagai sebuah korporasi yang bergerak dibidang telekomunikasi PT.Telkom menciptakan sebuah produk kreatif berbasiskan teknologi digital Indigo (Indonesian Digital Community). Produk yang dihasilkan oleh Indigo berupa hasil produk digital dalam berbagai bidang telematika. Diantaranya ring back tone, animasi program tv, dan game software.

Drs.Budi Istianto, Msn staf pengajar Seni Rupa dan desain ITB memberikan paparan tentang perkembangan industri kreatif dibidang kerajinan/craft. Menurut Budi Istianto sektor kerajinan masih belum bisa diketegorikan industri, karena sistem pengelolaan produksinya masih sangat tradisional. Sebagian masih menganggap bahwa sektor ini hanya sampingan. Dilihat dari sumber potensi sumberdaya alam sektor kerajinan memiliki sumber bahan baku yang berlimpah. Upaya untuk membudidayakannya masih rendah sehingga kelestarian lingkungan menjadi terganggu.

Sesi dua membahas tentang potensi bisnis dari industri kreatif. Menghadirkan Ir.Purwa Tjaraka sebagai salah seorang pelaku di industri kreatif di bidang musik. Berdasarkan pengalaman Purwa para pelaku bisnis di industri kreatif mempunyai idealisme dan sikap berani menempuh resiko. Sikap tersebut harus seimbang dengan pengetahuan dan penyerapan teknologi agar industri kreatif  dapat berkembang dan mempunyai daya tahan ditengah era persaingan global. Dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB Dr.Ir.Togar Simatupang memberikan pemaparan tentang pemahaman industri kreatif dan potensi bisnisnya melalui retorika industri kreatif.

Diharapkan lewat proses retorika ini dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas mengenai peluang potensi bisnis industri kreatif. Sehingga paradigma masyarakat yang menganggap industri kreatif hanya milik seniman atau orang yang bergerak di dunia seni dan desain saja dapat dirubah. Intinya adalah bahwa semua orang bisa menghasilkan kreatifitas yang hebat. Dari pihak Pemerintah Kota Bandung diwakilkan kepada Drs.Ema Sumarna, M.Si memberikan pemaparan tentang kemajuan industri kreatif di Bandung. Beberapa sektor industri kreatif di Bandung bahkan telah mampu memberikan ‘wajah’ bagi kota Bandung. Dalam perkembangannya selama 10 tahun terakhir pihak pemerintah kota Bandung kurang antisipatif mengakomodir isu perkembangan industri kreatif. Yang terjadi hingga sekatang adalah para pelaku industri kreatif berjuang sendiri ditengah keruwetan birokrasi.

Sesi tiga membahas tentang pengembangan industri kreatif. Menghadirkan pembicara dari British Council yang diwakili oleh Yudhi Soerjaatmodjo. Yudhi memberikan beberapa contoh kota dibeberapa negara yang melakukan pengembangan industri kreatif. Inggris adalah salah satu contoh negara yang berhasil menjadikan industri kreatif sebagai lokomotif perekonomian regional kota dan negara. Hal tersebut dapat terwujud karena pemerintah Inggris berhasil membuat sebuah langkah yang sinergis antara sesama stake holder dan pelaku dibidang industri kreatif.

Pembicara kedua adalah M.Ridwan Kamil seorang arsitek dan dosen arsitek ITB. Dalam pemaparannya Ridwan menjelaskan bahwa kota Bandung telah memenuhi syarat untuk melakukan pengembangan industri kreatif. Budaya kreatif hanya bisa tumbuh di lingkungan yang kondusif terhadap 3 hal : talent, technology, dan tolerant, maka kota Bandung telah mempunyai prasyarat tersebut. Tinggal potensi tersebut dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang mampu menyentuh kepentingan grass root. Dan selama ini yang terjadi adalah setiap kebijakan yang dikeluarkan mempunyai potensi yang kontra produktif bagi perkembangan industri kreatif di Bandung.

Secara umum acara seminar nasional tersebut hanyalah ajang presentasi para pakar industri kreatif. Berbagi sudut pandang dan kepentingan dalam rangka pengembangan industri kreatif di tingkat lokal kota Bandung. Sementara irisan utama dari pengembangan industri kreatif yaitu komunitas kreatif yang menjadi grass roots sama sekali tidak tersentuh permasalahannya.

Penulis: Addy Handy

Photobucket

Pada tanggal 18 Maret 2008, British Council bekerjasama dengan pemerintah Australia dan Australia Council for the Arts menyelenggarakan sebuah seminar bertajuk Making Creative Cities: The Value of Cultural Diversity in the Arts yang diselenggarakan di kota Melbourne. Kegiatan ini juga juga didukung oleh pemerintah kota Melbourne dan the Arts Center yang menjadi tempat bagi penyelenggaraan seminar yang diisi dengan presentasi dan diskusi yang melibatkan para seniman, akademisi, praktisi bisnis, perwakilan pemerintah dan komentator yang berasal dari Inggris, Australia, New Zealand, Indonesia dan Taiwan.

Untuk seminar ini British Council secara khusus menghadirkan Keith Kahn (UK), seorang seniman yang merancang dan mengimplementasikan kegiatan Olimpiade Budaya yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan Olimpiade di kota London pada tahun 2012 mendatang. Sebelumnya, Keith Kahn diberi kesempatan untuk mempresentasikan makalahnya pada acara Melbourne Conversation yang diselenggarakan di gedung perpustaaan pemerintah Victoria pada tanggal 17 Maret 2008. Dalam sesi ini ia tampil di hadapan publik kota Melbourne bersama Elizabeth Burns Coleman (AU) dan Fotis Kapetopoulos (AU). Masing-masing adalah filsuf dan ahli komunikasi di bidang keberagaman budaya.

Selama dua hari berturut-turut, diskusi mengenai pengembangan kota kreatif dalam perspektif keberagaman budaya menjadi tema sentral yang memancing perdebatan dan diskusi diantara para peserta seminar. Topik ini dilandasi oleh prediksi Bank Dunia yang menyatakan bahwa setiap bulan kota-kota di wilayah Asia Tenggara akan didatangi oleh dua juta orang dalam dua dekade ke depan (Bank Dunia, 2007). Hal ini setidaknya membutuhkan perhatian khusus bagi para pemegang kebijakan, karena proses urbanisasi yang luar biasa saat ini sudah sangat sulit untuk dibendung. Dapat dikatakan bahwa hampir setengah dari populasi warga dunia kini hidup di lingkungan perkotaan sehingga salah satu alternatif yang mungkin untuk dilakukan adalah mengembangkan pemahaman akan keberagaman budaya, sehingga potensi konflik dan persoalan yang mungkin mucul dapat diselesaikan melalui inovasi dan kreatifitas.

Persoalan di atas setidaknya turut dipicu oleh proses globalisasi dan perkembangan di bidang teknologi yang semakin mencairkan batas antar negara dan sekat teritori budaya sehingga meningkatkan resiko akan konflik dan gesekan antar kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam hal ini, perspektif keberagaman budaya adalah sebuah alternatif pemikiran yang idealnya dapat dipahami untuk menghindari terjadinya konflik dan gesekan antar kelompok masyarakat. Di beberapa negara, keberagaman budaya justru mampu melahirkan berbagai inovasi dan penemuan baru. Namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa tanpa perspektif yang menghargai keberagaman budaya, perbedaan dan keberagaman juga memiliki potensi konflik yang dapat menghambat terjadinya proses kohesi sosial yang inklusif.

Hal tersebut di atas bukan hanya disebabkan oleh entitas kebudayaan yang beragam, tetapi juga karena berbagai ketimpangan yang terjadi di ranah politik dan ekonomi, selain juga pertentangan yang terjadi di wilayah ideologi. Konflik semacam ini juga biasanya dapat dipicu oleh munculnya nilai-nilai baru yang lahir seiring dengan proses globalisasi dan perkembangan teknologi. Lain dari itu, potensi konflik yang ada juga setidaknya ikut dipicu oleh krisis pembentukan identitas masyarakat yang tidak lagi bersandar pada latar belakang etnis, ras atau keyakinan tertentu, tetapi juga merasuk kepada masalah perbedaan kelas sosial, ekonomi, gaya hidup, orientasi seksual dan lain sebagainya.

Dalam presentasinya, Keith Kahn memaparkan bahwa kota London barangkali merupakan contoh kota yang memiliki keberagaman budaya dan kompleksitas yang luar biasa. Dari 12 juta penduduknya, saat ini setidaknya ada 200 kelompok etnis dan 300 bahasa yang berkembang di kota London. Angka ini bersanding dengan kenyataan bahwa sekitar 35 % populasi kota London terdiri dari warga asing dan sekitar 40,7 % warga kota berasal dari kelompok etnis minoritas. Selain itu, persentase ini juga dilengkapi dengan fakta bahwa ada sekitar 1 berbanding 20 warga kota yang berasal dari keluarga yang mengalami persilangan ras ataupun perkawinan antar kelompok etnis yang berbeda. Dalam kenyataannya, keberagaman budaya yang dimiliki oleh kota London saat ini malah memicu pertumbuhan ekonomi kota yang bersandar pada inovasi dan kreativitas individu, sehingga potensi konflik yang ada relatif dapat dihindari.

Sementara itu Elizabeth Burns Coleman menyatakan bahwa pengembangan kota kreatif dalam perspektif keberagaman budaya dapat mendorong terjadinya proses kohesi sosial yang inklusif. Dalam perspektif keberagaman dan interaksi budaya, warga kota akan lebih terpacu untuk dapat terlibat dan berpartisipasi dalam melakukan serangkaian eksplorasi penciptaan nilai-nilai yang baru, karena proses interaksi budaya juga dapat mendorong terjadinya proses negosiasi, adaptasi dan perubahan. Dalam wacana kota kreatif, keberagaman budaya juga memiliki nilai ekonomi karena situasi keberagaman memungkinkan terjadinya proses penciptaan dan transaksi nilai-nilai, baik secara artistik maupun ekonomi.

Ada baiknya untuk disadari bahwa membangun perspektif keberagaman budaya adalah sebuah langkah politik yang diperlukan untuk meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat sipil, termasuk dalam mengembangkan kebijakan dan program pembangunan yang berkeadilan. Hal ini setidaknya tercermin melalui uraian Fotis Kapetopoulos yang memaparkan bahwa pengembangan pemahaman akan keberagaman budaya senantiasa memerlukan keterlibatan masyarakat secara langsung, selain pengembangan kebijakan dan alokasi dana pajak yang bertanggung jawab. Kepentingan publik harus dapat tercermin dalam keseluruhan proses pembentukan kebijakan, kegiatan kebudayaan dan aktifitas lain yang melibatkan masyarakat umum, karena keberagaman budaya merupakan tulang punggung dari aktifitas ekonomi masyarakat kota yang kreatif.

Profesor Marcia Langton AM (AU), salah seorang panelis dalam seminar ini lebih jauh menyatakan bahwa untuk membangun perspektif keberagaman budaya dibutuhkan kepemimpinan dan penghubung masyarakat yang berwawasan luas. Dalam beberapa hal, kebutuhan semacam ini dapat ditemukan pada energi kaum muda yang lebih dinamis dan terbuka akan gagasan-gagasan baru. Selain itu, kepemimpinan yang dibutuhkan adalah sosok yang memiliki tingkat intelektualitas dan kemampuan manajemen yang baik, sehingga dapat terhindar dari tata kelola pemerintahan yang buruk dan korup karena minimnya kemampuan intelektual yang terpuji. Untuk itu, tidaklah berlebihan apabila panelis Darcy Nicholas (NZ) menyatakan bahwa pemahaman akan keberagaman budaya hanya dapat ditemukan dalam sosok pemimpin yang memiliki kesadaran yang berlapis dan berorientasi pada inovasi dan perubahan. Dalam hal ini, seorang pemimpin yang memiliki intelektualitas dan perspektif keberagaman budaya akan secara kreatif mampu merancang dan mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik.

Penulis: Gustaff H. Iskandar (Seniman, bekerja untuk Common Room Networks Foundation)
Sumber: http://commonroom.info/

Bersama ini kami beritahukan bahwa Inkubator Industri dan Bisnis ITB akan menyelenggarakan acara Seminar Nasional Industri Kreatif untuk kesejahteraan Bangsa

Hari/tanggal : Rabu, 2 April 2008
Waktu : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat : Aula Barat ITB
Jl. Ganesha No. 10 Bandung

Tujuan diadakannya seminar tersebut adalah selain membangun kesadaran akan potensi industri kreatif bagi kesejahteraan bangsa Indonesia juga untuk mendorong inspirasi kewirausahaan di bidang industri kreatif serta
membangun jejaring kerja sama antara pihak-pihak terkait di bidang industri kreatif.

Pembicara:

  1. Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata/ keynote speaker)
  2. Budi Darmadi (Direktur Jenderal IATT Depperin)
  3. Rinaldi Firmansyah (Dirut Telkom)
  4. H. Dada Rosada (Walikota Bandung)
  5. Effendi Ghozali (pencetus ide republik BBM)
  6. Purwacaraka (Praktisi industri musik)
  7. Yudhi Soerjaatmodjo (The British Council)
  8. Dr. Biranul Anas Zaman (Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain – ITB)
  9. M. Ridwan Kamil (PT. Urbane Indonesia)
  10. Dr. Ir. Togar Simatupang (Staf Pengajar SBM ITB)
  11. Dr. Suhono H Supangkat (Direktur Inkubator Industri dan Bisnis ITB)

Dalam seminar ini direncanakan akan diadakan pameran yang bertemakan industri kreatif dan tenant inkubator industri dan bisnis ITB, serta peluncuran buku berjudul “Industri Kreatif untuk Kesejahteraan Bangsa”.

Sehubungan dengan hal itu, kami mengundang bapak/ibu/saudara/i untuk menghadiri acara dimaksud dengan biaya Rp. 100.000,-/orang (umum) dan Rp. 50.000,-/orang (mahasiswa) sudah termasuk 2 kali snack, makan siang, seminar kit, makalah dan sertifikat.

Untuk pendaftaran dapat mengisi Surat Kesediaan Peserta & konfirmasi lebih lanjut mengenai keikutsertaan dan
pembayaran, mohon hubungi :
Inkubator Industri dan Bisnis – ITB (Indriani)
Jl. Ganesha No. 15 Bandung
Ph. (022) 2501006, Fx. (022) 2534163
e-mail : pib@inkubator.itb.ac.id

Rabu, 18 Juli 2007

Bandung (ANTARA News) – Industri kreatif Distro atau kelompok usaha yang memproduksi pakaian atau barang-barang lainnya yang menjamur di Kota Bandung mencapai omzet ratusan miliar rupiah per tahun dibandingkan kelompok usaha jasa kreatif lainnya.

Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Marketing Universitas Bina Nusantara, Wayah S. Wiroto, dalam seminar “Indonesian Creative Industry Mapping” di Bandung, Rabu, mengatakan tingginya nilai pemasukan industri kreatif ini merupakan potensi yang sangat luar biasa bagi usaha industri sehingga pemetaan industri kreatif harus segera dilakukan.

Ia mengatakan berdasarkan hasil penelitian, salah satu Distro yang berada di Kota Bandung mampu meraup pemasukan hingga Rp. 2,5 miliar per tahun.

Pertumbuhan industri kreatif ini harus digali lebih maksimal lagi karena ini merupakan salah satu alternatif pendapatan bagi pembangunan ekonomi daerah.

Ia menjelaskan, pemerintah dapat memberikan keringanan pajak kepada para pengusaha Distro karena prospek dari bisnis ini diprediksi akan semakin menguat seiring dengan program Kota Bandung sebagai Kota Jasa.

Untuk pertumbuhan industri kreasi secara nasional, media televisi masih berada di posisi teratas dengan pendapatan yang naik setiap tahunnya sebesar 25 persen hingga 35 persen dengan nilai triliunan rupiah.

Sementara itu Direktur Common Room, Gustaff H Iskandar mengatakan selain industri pakaian, Kota Bandung juga memiliki potensi besar dalam industri kreatif bidang seni.

Ia menjelaskan, selama lima tahun melakukan penelitian tentang Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Kota Bandung tercatat industri musik yang mengusung band rekaman independen yang menggunakan pemasaran kaset di luar label besar ternyata mampu menembus pasaran internasional.

Selama ini, ungkapnya mereka masih terganjal oleh perijinan dan birokrasi yang berbelit untuk pendistribusian karya mereka yang dijual berupa kaset ataupun compact disc (CD) atau pun berpromosi dengan mengadakan tour di luar negeri.

Padahal nilai penjualannya sangat besar dan jika dikelola dengan manajemen yang benar akan menjadi industri yang besar di Kota Bandung. Bahkan tidak jarang para pemusik “indie” ini diundang oleh promotor besar.

Ia meminta kepada pemerintah untuk meringankan segala bentuk birokrasi dan perijinan bahkan penghilangan pajak seperti industri Small Medium Enterprise (SME) di Cina yang selama lima tahun terakhir tidak dibebankan pajak. (*)

Sumber: Antara News

Jumat, 2 November 2007

Bandung, Kompas – Industri kreatif diyakini akan tumbuh pesat dan mampu meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Guna mengembangkan potensi industri kreatif ini, peran dunia pendidikan diperlukan untuk bersinergi bersama industri dan pemerintah.

Mike Hardy, Direktur British Council, pada simposium regional bertajuk Strategic Dialogue in South East Asia-Developing Creative Industry di Bandung, Senin (29/10), mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang konservatif perlu diubah dan dibawa ke arah dukungan tumbuhnya kreativitas. Kebijakan-kebijakan pun perlu dibuat berpihak pada peluang dan upaya bagi tumbuhnya industri kreatif.

Simposium yang merupakan bagian dari Prime Minister Initiative II (PMI2) Inggris ini diikuti 40 pengambil kebijakan dan praktisi senior pendidikan dari 10 negara. Para peserta berasal dari Thailand, Singapura, New Zealand, Jepang, Filipina, Malaysia, Taiwan, Australia, Inggris, dan Indonesia.

Industri kreatif punya potensi besar. Inggris sendiri memfokuskan pada pengembangan industri kreatif karena berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Kerja sama untuk mendukung tumbuhnya industri kreatif ini perlu didukung, termasuk juga melalui pendidikan“, kata Charles Humfrey, Duta Besar Inggris untuk Indonesia.

Di Indonesia, salah satu kota yang mampu mengembangkan industri kreatif adalah Bandung. Di sini, ada 400 outlet fashion, desain, dan musik. Sebagian besar dijalankan para pengusaha muda berusia 15-25 tahun. Kontribusi industri kreatif Indonesia mencapai 33 persen pendapatan negara, jauh lebih besar daripada gas dan minyak bumi yang berkisar enam persen. (ELN)

Sumber: Kompas