You are currently browsing the tag archive for the ‘Music’ tag.

Kamis, 20 Juli 2006

KOMUNITAS-komunitas kreatif yang berkembang dalam sepuluh terakhir ini, memberi warna baru dalam perkembangan Bandung sebagai satu kota. Bandung yang selama ini dikenal sebagai kota yang kreatif dalam melahirkan tren baru dalam gaya hidup, seperti tak pernah kehabisan ide dan gagasan kreatif.

Munculnya ruang-ruang pertemuan dan kegiatan yang mengakomodasi berbagai macam pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif, selama ini lebih banyak digagas secara mandiri oleh inisiatif individu atau kelompok.

Bersamaan dengan institusi-institusi formal lain yang bergerak di lingkup seni budaya, kerberadaan ruang-ruang inisiatif dan komunitas-komunitas yang ada, memiliki kontribusi yang penting dalam perkembangan budaya kota. Namun fakta bahwa komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif, yang mampu bertahan sangat sedikit, menunjukkan bahwa dan keberlanjutan keberadaan ruang-ruang tersebut menjadi isu yang serius untuk ditanggapi.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa waktu lalu, Pusat Studi Urban Desain, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Arsitektur ITB dan Common Room Networks Foundation, mencoba mengidentifikasikan, persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif itu melalui kegiatan gathering komunitas kreatif dan online conference dengan para pelaku komunitas di Bandung. Gathering dan online conference ini merupakan bagian dari kegiatan Artepolis yang bertujuan untuk menyoroti persoalan budaya kreatif dan pemaknaan ruang di Bandung.

Berbagai komunitas yang bergerak di bidang fashion, musik, perbukuan, media, dan pengelola ruang yang selama ini aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan di Bandung, berbagi pengalaman dan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka selama ini.

Tingginya Nilai Lahan
IF Venue, salah satu ruang inisiatif yang memulai aktivitasnya pada bulan Agustus 2004, terpaksa menutup ruangnya karena idealisme pengelolanya, harus berhadapan dengan harga sewa ruang yang setiap tahun bertambah mahal. “Kita tutup karena nggak mampu bayar kontrak. Harga sewa rumah yang asalnya Rp. 20 juta per tahun, naik jadi Rp. 27 juta pertahun“, Jelas Muhamad Akbar, salah satu pengelola IF Venue. “Kita sempat bikin pertunjukan untuk cari dana, tapi karena persiapannya mepet dan sumber dayanya terbatas, kegiatan yang harusnya menghasilkan uang untuk sewa tempat malah nombok.

Pada awalnya, IF venue, didirikan untuk menjadi ruang pengembangan kreativitas anak muda di Bandung. Saat itu, para pendirinya mendapatkan sejumlah dana dari sebuah organisasi sosial yang mendukung realisasi berdirinya ruang inisiatif tersebut. Bantuan tersebut mereka anggap sebagai modal awal untuk aktivitas mereka.

Sebelum ditutup, IF venue yang terletak di jalan Moch. Toha, dikenal oleh sebagian anak muda Bandung, sebagai ruang yang rutin menyelenggarkan kegiatan-kegiatan pameran, pertunjukan musik underground, diskusi dan pemutaran film. Untuk membiayai kegiatan mereka, salah satu ruangan, dijadikan studio musik untuk disewakan, juga ada toko baju dan coffe shop kecil, namun pemasukannya tidak dapat menutupi kebutuhan operasional mereka.

Kebutuhan ruang-ruang di lokasi strategis untuk beraktifitas dan keterbatasan lahan yang tersedia, semakin membuat harga sewa ruang dan lahan menjadi semakin mahal. Tidak adanya pengaturan, tata guna lahan yang jelas oleh pengelola kota, harga sewa ditetapkan secara sepihak oleh para pemilik ruang.

Jalan Trunojoyo, dulu sewanya cukup murah kalau mau buka usaha di situ, sekarang setiap tahun naik hampir Rp. 15 juta. “Sekarang sewanya bisa sampai seratus juta rupiah per tahun. Dan itu bikin biaya operasional tambah mahal, pengaruhnya ke harga jual produk juga“, kata Dendy pemilik 347 dan pengelola ruang Room No.1.

Infrastruktur dan Birokrasi
Di Bandung cuma sedikit tempat yang bisa dipakai untuk pertunjukan dan itu pun harga sewanya mahal, lagi pula sulit mencari tempat yang sesuai dengan jenis pertunjukannya“, keluhan serupa diungkapkan Wale, salah satu penggiat Komunitas Berandalan Bandung, yang pada bulan Juni lalu sempat menggelar konser, grup punk legendaris dari USA, The Exploited, di stadion Persib, Bandung.

Bandung butuh gedung yang bisa menampung audience sampai 10.000 orang, sementara tempat-tempat pertunjukan yang ada paling banyak hanya 2.000 sampai 5.000 orang. Sering kejadian penontonnya banyak dan gedungnya nggak muat“, lanjut Wale.

Maka itu jangan heran, jika ruang-ruang seperti AACC, Auditorium CCF, bisa dipakai untuk segala pertunjukan musik. Di pertengahan 90 sampai akhir 90-an, Gelora Saparua, identik dengan pertunjukan musik punk, hard core. Namun saat ini, karena kondisi gedung yang sudah tidak layak, membuat komunitas punk, hardcore, kesulitan mencari ruang pertunjukan musik mereka. Sementara gedung pertunjukan seperti Sabuga, tak terjangkau bagi komunitas. Mengingat, seringkali penyelenggaraan kegiatan dilakukan dengan dana swadaya komunitas dan sponsor yang terbatas. Modal terbesar yang mereka miliki adalah semangat dan keinginan yang kuat untuk mengekspresikan aspirasi estetiknya.

Belum lagi persoalan perizinan dan birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan. Helvi, pendiri Fast Foward Record yang beberapa waktu lalu sempat mengundang King of Convenience, grup musik asal Norwegia, berharap pemerintah kota dapat memberikan keringanan pajak dan visa kerja terhadap band-band yang akan tampil di Bandung. “Kayak 100 Rock Festival di Bangkok, Dinas Pariwisatanya yang dukung, lalu kerja sama dengan swasta, jadi banyak biaya yang bisa di tekan.

Disadari atau tidak oleh pengelola kota, kegiatan konser bertaraf internasional seperti ini, dapat mendukung kegiatan pariwisata Kota Bandung.

Sementara, tidak semua orang memiliki akses terhadap ruang-ruang milik pemerintah kota dan menggunakannya sebagai community center. Jika dapat menggunakan fasilitas yang tersedia, seringkali tak sesuai dengan kebutuhan yang menunjang kegiatan.

Tubagus Adhi, dari Forum Apresiasi Budaya atau lebih dikenal dengan nama LINKART, selama ini menjalankan aktivitasnya dengan memanfaatkan ruang yang ada di Kompleks Taman Budaya. “Kebetulan saat itu posisinya sebagai konsultan Taman Budaya. Cuma ga ada uangnya. Bagi saya nggak papa, dan saat itu saya menemukan ruang audio visual dan perpustakaan yang berantakan sekali. Akhirnya ya kita memanfaatkan itu.

Aktivitas dilakukan oleh LINKART, di antaranya pendokumentasian seni budaya dan program tur keliling kota, yang tujuannya untuk memperkenalkan sejarah Bandung pada kalangan muda. Namun, seperti halnya komunitas lain, untuk membiayai aktivitasnya, LINKART masih mengandalkan dana swadaya dari para pengurusnya.

Persoalan Bersama
Achmad D. Tardiyana, selaku fasilitator dan penanggung jawab kegiatan gathering, memandang persoalan ini lebih optimis. Menurutnya, salah satu kunci kegiatan kreatif itu adalah survival. Kendala-kendala itu justru mendorong mereka untuk bisa menemukan cara dalam mengatasi persoalannya. Kreativitas justru seringkali muncul dari keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Meski demikian, tetap saja peranan pengelola kota sangat diperlukan. Penataan ruang kota Bandung yang bisa mengakomodasi potensi kreatif warganya, sudah semestinya diakomodasi dan difasilitasi. Jika pengelola Kota melihat komunitas kreatif sebagai potensi kota yang membentuk identitas Bandung sebagai kota kreatif, sudah saatnya, apa yang menjadi persoalan komunitas ini, juga menjadi persoalan yang perlu dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama.

Penulis: Tarlen Handayani
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Bandung—Sejumlah musisi Bandung yang bergerak melalui jalur distribusi independen atau yang lebih dikenal dengan nama indie, berharap musik mereka tidak menjadi sekadar tren bagi kalangan anak muda.

Vokalis band indie legendaris Bandung Pure Saturday, Satria, saat ditemui di sela-sela LA Lights Indie Fest Bandung, minggu lalu, mengatakan geliat musik indie yang sedang naik saat ini tidak dijadikan sebagai peluang komersial, melainkan dijadikan momen untuk membesarkan band-band indie itu sendiri.

Festival musik independen seperti Indie Fest kali ini sangat bagus untuk membangkitkan semangat independen bagi para musisi indie. ”Hanya saja jangan dijadikan tren oleh pihak-pihak yang sekadar mencari keuntungan”, katanya.

Hal senada disampaikan gitaris band Ballads of the Cliche, Erick. Festival-festival indie yang kini kerap diselenggarakan oleh berbagai pihak sebenarnya menjadi kesempatan besar bagi musisi indie baru yang ingin ”unjuk gigi”.

Namun, hal tersebut juga jangan sampai dijadikan semacam tren dan tidak merepresentasikan esensi dari musik indie itu sendiri, katanya. Karena sebenarnya, yang membedakan musik independen dengan musik yang bergerak di jalur ”major label” adalah semangat musisinya dalam memainkan musik mereka yang berbeda dengan musik lain yang cenderung lebih komersial.

Musisi indie akan selalu bermain musik sesuai dengan hati mereka, bukan hanya sekadar untuk terlihat keren”, kata Satria. Ia juga mengatakan, musisi indie sejati tidak akan memainkan musik mereka menuruti keinginan pasar, tetapi karena musik yang mereka jalani telah menjadi gaya hidup mereka.

Kibordis Jelly Belly, Ngging, juga menyayangkan adanya kecenderungan bagi musisi indie yang sudah tidak lagi memiliki semangat indie. Salah satu band yang juga menjadi salah satu bintang tamu di Indie Fest, katanya, rela mengganti nama band mereka ketika mereka menandatangani kontrak dengan salah satu label besar Indonesia. Padahal, seharusnya musisi indie harus bisa mempertahankan gaya bermusik maupun pendapat mereka. ”Mereka harus memiliki style mereka sendiri, dan jangan sampai berubah hanya karena ingin terkenal”, katanya.

Sumber: Harian Umum Sore, Sinar Harapan

Selasa, 12 Februari 2008

BANDUNG, (PR).-
Terkait insiden kerusuhan penonton konser yang menewaskan 10 orang di Gedung Asia Africa Cultural Centre (AACC) di Jln. Braga, Bandung, Sabtu (9/2) malam lalu, Wali Kota Bandung, Dada Rosada menyatakan pentingnya dibuat peraturan daerah (perda) tentang ketentuan penyelenggaraan pertunjukan. Di dalam perda tersebut, terdapat pembatasan tentang jenis musik yang digelar dan daya tampung gedung.

Perda itu perlu, buktinya kelebihan kapasitas di Stadion Siliwangi juga selalu menyebabkan ketidaknyamanan, dan itu bukan pelayanan yang baik“, ujar Dada pada acara peresmian Gedung Pengadilan Agama (PA) Bandung, Karawang, dan Cikarang, di Gedung PA Jln. Terusan Jakarta, Bandung, Senin (11/2).

Sementara itu, Gubernur Jabar Danny Setiawan mengatakan, Pemprov Jabar bekerja sama dengan Pemkot Bandung akan memberikan fasilitas gedung pertunjukan yang memadai bagi komunitas musik underground. Gubernur juga menegur keras pengelola Gedung AACC, yakni PD Jawi, menyangkut perizinan gedung tersebut. Gubernur mengatakan hal itu, ketika meninjau Gedung AACC di Jln. Braga, Bandung, Senin (11/2). (Baca juga Underground di halaman 19).

Dalam peninjauan tersebut, Danny menyisir dan memeriksa fasilitas Gedung AACC. “Setelah saya melihat ke dalam, ternyata kapasitas gedung ini kecil dan tidak pantas untuk kegiatan atraksi kesenian yang mengundang banyak orang“, tuturnya.

Menurut Danny, Gedung AACC harus dibatasi pemakaiannya untuk kesenian-kesenian yang segmennya tidak mengundang banyak massa. Ia mengatakan, kelalaian ini merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah daerah.

Gubernur menegaskan, ia sudah menegur keras direksi PD Jawi agar pemberian izin penggunaan AACC tidak melihat dari sisi uang sewanya. Apalagi pendapatan dari AACC tidak signifikan bagi PD Jawi. Danny juga meminta agar masyarakat ikut mengontrol penggunaan gedung tersebut. “Gedung ini merupakan gedung rakyat yang bisa dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun masyarakat harus mengontrol penggunaannya, jangan dipaksakan“, ujarnya.

Sementara itu, Addy Handy dari Solidaritas Independent Bandung (SIB), menilai peristiwa yang terjadi Sabtu malam lalu, merupakan akumulasi dari ketidakberesan perencanaan yang kurang diantisipasi berbagai pihak. “Bandung adalah barometer bagi musik di Indonesia, namun tidak memiliki gedung konser yang representatif“, ucapnya.

Ia mengatakan, mereka tidak bisa menyewa tempat yang memadai karena keterbatasan dana. Menurut dia, penutupan GOR Saparua yang sebelumnya merupakan tempat pertunjukan musik di Bandung, merupakan awal dari sulitnya beberapa komunitas musik independen untuk menyewa tempat yang representatif.

Dalam kesempatan itu, beberapa anggota SIB sempat menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada gubernur. Utun, salah seorang anggota SIB, mengatakan, setelah GOR Saparua ditutup mereka sempat meminta dengar pendapat dengan DPRD Kota Bandung dan pemkot, namun sampai saat ini belum direalisasikan.

Menanggapi hal itu, Danny menyarankan agar pihak SIB melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada DPRD sebagai penentu APBD dan pemkot. Danny juga berjanji akan berbicara dengan wali kota untuk mencari jalan keluar yang terbaik. “Saya harus menanyakan terlebih dahulu kepada pemkot. Apabila GOR Saparua ada proteksi dari pemerintah, mungkin ada alasannya“, ujarnya.

PD Jawi
Pendiri dan mantan pengelola AACC menilai, PD Jawi harus ikut bertanggung jawab dalam insiden yang menewaskan 10 orang itu. Menurut mereka, penggunaan Gedung AACC yang tidak semestinya, pada akhirnya menelan korban jiwa.

Boy Worang, mantan pengelola gedung AACC, menuturkan, gedung tersebut sebelumnya diperuntukkan untuk pengembangan seni dan budaya. Tidak hanya budaya Jawa Barat dan nasional, tetapi juga budaya internasional, terutama negara-negara Asia-Afrika.

Kegiatan yang dilaksanakan selalu dibatasi hanya untuk kegiatan kesenian yang lebih serius, mengingat kecilnya kapasitas gedung. “Beberapa kali even yang sifatnya massal ditolak di sini“, tutur Boy.

Sepeninggal pemimpin pengelola gedung AACC Bambang Budi Asmara pada 2006, pengelolaan gedung diambil alih oleh PD Jawi. Sejak saat itu, menurut Boy, penggunaan Gedung AACC bergeser dari fungsinya semula. “Kalau di bawah perusahaan daerah ya harus profit. Kebudayaan kan nggak mungkin profit“, kata Boy.

Oleh karena itu, PD Jawi harus ikut bertanggung jawab dalam insiden itu. “Selama ini, PD Jawi tidak memiliki program. Dia hanya menyewakan gedung, tidak menyeleksi siapa yang menyewa gedung“, ujar Diro Aritonang, yang juga mantan pengelola Gedung AACC.

Menurut Diro, sebagai gedung pertunjukan, AACC hanya berkapasitas maksimal 400 penonton dalam keadaan berdiri. “Kalau duduk di kursi, dengan yang ada di balkon saja hanya mampu menampung 250 sampai 300 orang“, ungkap Boy.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, I. Budhyana mengakui, saat ini Jabar masih minim tempat untuk menyelenggarakan pertunjukan seperti musik underground. “Standar minimal pun belum kita miliki. Misalnya kita harus memiliki taman budaya minimal seluas 5 ha. Yang kita miliki sekarang baru 3 ha“, katanya.

Budhyana mengatakan, dari 26 kabupaten dan kota di Jabar, baru 5 kota yang mempunyai fasilitas kesenian, yaitu Kota Bandung, Kab. Bogor, Cianjur, Cirebon, dan Kuningan.

Aksi Solidaritas
SIB mengadakan aksi solidaritas untuk mengenang peristiwa AACC, Senin (11/2). Dua buah karangan bunga diletakkan di pintu masuk AACC.

Energi kreatif yang dimiliki oleh anak muda Bandung sudah tidak dapat ditampung. Sudah selayaknya memiliki fasilitas publik yang dapat mengakomodasi energi kreatif yang berkembang secara aman“, kata Addy Handy.

SIB tidak hanya beranggotakan musisi Bandung saja, tetapi juga semua komunitas kreatif, seperti clothing, dan desain. Pada kesempatan yang sama disebarkan selebaran yang bisa diisi semua orang yang mengucapkan bela sungkawa bagi korban insiden di AACC.

Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Kamis, 3 April 2008

SAYA masih teringat, Bandung 18 tahun yang lalu sangat antusias dengan kemunculan Sex Pistols Night. Sebuah event di luar pentas seni (pensi) yang diadakan oleh komunitas punk. Seolah event itu sangat monumental bagi banyak anak remaja di masa itu, yang hanya bisa mengapresiasi jenis musik punk melalui kaset yang direkam dari CD orisinal, dibeli dari luar negeri ataupun pesan di muka dengan waktu yang sangat lama di toko musik. Koor lagu 99 Red Balloons masih terasa hingga kini.

Masih ingat dalam benak saya setelah event itu, Hullabalo membuat GOR Saparua menjadi ikon bagi pergelaran musik keras di Bandung. Dari gedung olah raga itu, lahirlah band-band seperti Sendal Jepit, BurgerKill, atau Puppen, yang mungkin telah menjadi legendaris di mata anak remaja sekarang.

Scene dan event yang berakar dari komunitas indie Bandung, kini tumbuh sangat pesat. Banyak band indie Bandung yang telah menjadi band nasional. Bandung menjadi magnet bagi pertumbuhan budaya kreatif di Indonesia. Dari event-lah semuanya bisa berkembang. Dunia kreatif kini merambah menjadi majalah, musik, clothing, distro, dll. Yang disajikan jauh lebih mapan dibandingkan dulu. Ya, kini semuanya telah menjadi industri.

Jadi “virus”
Semangat kreatif Bandung tidak tumbuh sendirian. Sebaliknya, dia menjadi virus bagi anak muda di kota lainnya. Bandung menjadi merek kreatif yang bisa dibisniskan di kota lain. Sebuah attitude yang dijual dengan produk yang dihasilkannya. Produk-produk dengan citra (image) budaya dari Bandung, kini sangat laku terjual di kota-kota lain. Visi ke depan adalah memberi cara pandang kreativitas dalam arti yang baru, independen. Berkreasi, berbisnis, menjual, dan bersenang-senang.

Di Surabaya budaya skateboard pernah sekali digelar oleh perusahaan clothing luar seperti Volcom dengan Jamorama-nya, untuk mengembangkan budaya skateboard yang lebih dulu maju di Amerika. Acara itu diadakan di jalanan dan menghadirkan Superman is Dead sebagai bintang tamu.

Event tersebut dapat menarik perhatian anak muda Surabaya. Hasilnya, seorang skater asal Surabaya, Nasa diminta untuk menjadi rider resmi dari brand tersebut. Selain itu, ia juga menyokong acara-acara komunitas skateboard dengan produk-produknya. Dari sinilah budaya skateboard berkembang hingga tercipta skatepark di Taman Bungkul dan beberapa komunitas skate baru.

Sejak tahun 2005 hingga saat ini, Bandung masih memberikan sumbangsih berupa produk-produk garmen anak mudanya di Surabaya. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan masuknya budaya kreatif Bandung di sini. Anak-anak muda Surabaya masih belum berani untuk berkreasi dan menjual hasil kreasinya kepada masyarakat. Event yang diadakan pun masih dalam bentuk pensi-pensi yang mengingatkan saya pada Bandung di tahun 1995. Tiga tahun terakhir ini, saya melihat perkembangan budaya anak muda tumbuh dengan pesat. Beberapa clothing lokal bermunculan, seperti Cuatro, Qlutch, Klover, Lolippop, dan lainnya.

Event independen pun kini mulai bermunculan, seperti Brother to Brother yang telah digelar hingga tujuh kali, Prambors Club Tuesday (event mingguan), pameran artwork, Surabaya Hardcore, dan banyak lagi yang tidak bisa disebut satu per satu. Sepertinya, budaya yang telah ada di Bandung mulai masuk ke Surabaya karena apa yang ditawarkan oleh budaya itu sangat cocok dengan keadaan anak muda. Bebas berkreasi dan menguntungkan secara finansial.

Masuknya gaya fashion Bandung ke Surabaya dimulai pada 2005, ketika Cosmic (clothing Bandung) mulai memasarkan produknya di Surabaya. Bagi Surabaya dan Cosmic tentu sebuah prospek yang bagus. Dengan ikatan untuk mengembangkan budaya dan bisnis yang ada di Surabaya, Cosmic ingin berbuat sesuatu bagi perkembangan kreativitas dan tentu hal ini bukan perkara yang mudah. Berbagai event digelar untuk meraih pasar dan mengakomodasi kreativitas remaja Surabaya. Event terkini yang digelar adalah Joy Invasion di Lapangan Basuki Rahmat, pada 1-3 Februari 2008.

Surabaya memang sempat terkenal dengan band rock-nya yang bermain di arena mainstream, seperti Power Metal, Boomerang, Dewa 19, Padi, dan lainnya. Tetapi, kini, bukan hanya band seperti itu yang bisa unjuk gigi. Melalui Joy Invasion, berbagai genre musik mulai naik ke permukaan. Anak muda Surabaya kini lebih variatif lagi untuk memainkan musiknya. Dan wadah yang ada pun kini semakin beragam.

Melalui event-event itu, potret-potret budaya anak muda satu-persatu terkumpul. Hingga kita jenuh dan merasa bahwa kuantitas event yang berlebih bisa membuat semuanya seperti tampak murahan. Surabaya membutuhkan suatu event yang berbeda, bukan hanya kuantitasnya. Surabaya butuh suatu kesadaran bersama, budaya ini milik bersama. Bukan budaya Bandung yang dikembangkan di sini. Tetapi kreativitas yang ter-stimuli dari rintisan event semenjak dulu yang dilakukan di Bandung (entah sadar atau tidak) sudah merangsang semuanya untuk berkreasi. Harus ada eksklusivitas dan stimuli untuk meyakinkan bahwa budaya bukan hanya dimainkan setiap hari, tapi juga harus ditunggu-tunggu oleh penikmatnya. Harus ada kelas yang berbeda dari budaya yang dibuat asal-asalan hanya karena tuntutan ekonomi semata. Bahkan kalau bisa melapaui event independen yang telah ada. Sebuah event yang sangat monumental dan ditunggu.

Surabaya memang bukan Bandung. Tetapi, virus kreatif dari Bandung sudah ditularkan melalui budayanya. Kini sepertinya budaya kreatif bisa menjadi milik bersama. Walaupun asalnya dari Bandung, ia bisa berkembang di mana saja.

Penulis: Aulia Mauludi (Penggiat kegiatan anak muda di Surabaya)
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Minggu, 9 Maret 2008

Di tahun 1970-an, musik cadas tidak pernah menyebut dirinya sebagai komunitas musik indie, mengingat pada saat itu Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Uriah Heep, dll. merupakan komoditas yang dianakemaskan oleh industri major label. Begitu pun dengan musik cadas di Indonesia semacam Giant Step, God Bless, Superkid, SAS, dll. yang lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai musik underground. Komunitas mereka sangat bangga dengan sebutan itu, mengingat tak semua orang suka akan musik yang kekuatan bunyinya jauh di atas 60 dB atau jauh di atas batas toleransi pendengaran manusia. Istilah musik indie atau musik independen mulai melekat terhadap musik cadas di saat tren industri musik tadi mulai memudar.

Sementara di lain pihak para generasi penerus musik cadas tetap tidak ingin kehilangan aktualisasi diri. Dari situlah kemudian lahir istilah musik independen, sebuah istilah yang mencitrakan berbeda dengan musik yang tengah dimanjakan industri major label. Jargon musik indie dengan cepat bisa mengikat solidaritas, termasuk membangun jaringan musisi dan fans yang luas pula. Bersamaan dengan itu, sejumlah musisi cadas Amerika mencoba memanfaatkan realitas itu dengan membuat dan memasarkan album rekaman dengan caranya sendiri, termasuk melakukan berbagai pertunjukan melalui jaringan yang sudah terbentang luas.

Dalam perjalanannya kemudian sebutan musik indie bukan sebatas bagi aliran musik cadas saja. Musik alternatif sebagaimana yang diusung Cokelat, Mocca, Uthopia di Indonesia, aliran melodik sebagaimana yang diusung Nidji di Indonesia termasuk indie pop sebagaimana yang diusung anak-anak kreatif dari Bandung Pure Suterday terkategorikan sebagai band berbau indie.

Kecuali Cokelat, Mocca, Uthopia, dan Nidji, peredaran kaset/CD aliran musik berbau indie lainnya di Indonesia lebih banyak mengandalkan berbagai distro, atau menjual produk rekamannya di saat mereka melakukan pertunjukan mengingat toko-toko kaset pada umumnya dianggap sangat kurang berpihak.

Gerakan musik indie layak pula disebut sebagai gerakan masyarakat yang terpinggirkan sebab yang terjadi di sana bukan sebatas geliat pemberontakan para musisinya, melainkan secara sangat luas dimanfaatkan pula oleh anak-anak muda yang bukan musisi, namun ingin menggunakan eksistensi aliran hardcore, shoegaze, emo, black metal, dll. sebagai gerakan aktualisasi diri.

Pertanyaannya sekarang, mengapa di tahun dua ribuan ini tiba-tiba banyak gedung pertunjukan yang tidak mau memberi izin bagi pertunjukan musik indie? Bahkan mengapa ada sebuah pertunjukan musik indie yang sampai menelan korban sepuluh nyawa dan puluhan lainnya yang terluka?

Perilaku komunitas musik tersebut saat ini amat jauh berbeda dengan para pendahulunya di tahun-tahun tujuh puluhan. Pertunjukan musik superkeras saat ini selalu ditingkahi dengan perilaku para moshing, headbang, atau pogo yang dalam melakukan respons gerak tariannya hampir selalu ditingkahi adegan saling senggol atau saling dorong antar-penontonnya. Orang yang awam terhadap pertunjukan ini bisa dibuat ngeri saat melihatnya. Akan tetapi, bagi mereka perilaku seperti ini dipandang sebagai hal yang lumrah bahkan membanggakan. Setelah selesai pertunjukan, mereka kembali menunjukkan solidaritas yang kental. Malahan terhadap sesama komunitas indie di Bandung, mereka lazim bertegur sapa dengan memanggil lur kependekan dari kata dulur. Panggilan keakraban seperti itu diimplementasikannya pula dengan saling tolong saat ada kendaraan sesama penonton yang mogok atau kehabisan bensin usai menonton.

Punten kapayunan lur! Peryogi dibantos lur? Hatur nuhun lur! serta sapaan lur … lur … lur lainnya seakan sudah menjadi bahasa wajib sekalipun sebelumnya tidak saling kenal. Namun, suasana keakraban moshing, pogo, headbang bisa berubah jika ada oknum penonton yang mabuk. Apalagi, bila emosi mereka terus terpacu oleh lagu-lagu tempo cepat yang disertai kilauan lampu berkilat-kilat serta udara yang pengap dan panas.

Berdasarkan keterangan aparat kepolisian, terjadinya tragedi pada konser launching Grup Beside karena di sana telah beredar minuman keras. Penyebab lainnya adalah membeludaknya penonton yang jauh melampaui kapasitas gedung. Keterangan lain yang dikemukakan panitia melalui media massa adalah disebabkan kurangnya tenaga polisi pengaman. Ada pula yang menuduh bahwa pada saat kejadian chaos panitia seakan menghilang, termasuk tudingan disebabkan di Bandung tak ada tempat pertunjukan musik yang memadai, tidak adanya perda tentang pertunjukan, dst.

Namun, sesungguhnya ada yang lebih penting dari pernyataan semacam tadi. Yang menjadi penyebab inti tragedi konser 9 Februari tersebut sebetulnya adalah kita tidak pernah mau belajar banyak, padahal kematian penonton pada pertunjukan musik di Indonesia tidak hanya terjadi di Gedung Asia Afrika Culture Center (AACC).

Jangan dulu bicara muluk-muluk soal penyediaan fasilitas dsb. Yang kecil-kecil saja dulu, seberapa banyak orang tua mereka yang pernah mau menengok mencari tahu warna sosial mereka. Seberapa banyak pula pejabat, wakil rakyat, para pengurus organisasi musik, para wartawan, pendidik, tokoh agama, dsb yang pernah mau sekadar menengok pertunjukan musik mereka. Jangankan untuk menengok pertunjukan musik cadas, untuk pertunjukan musik biasa pun jarang sekali ada para inohong yang mau hadir, apalagi bertahan dari awal hingga akhir. Padahal, kehadiran tersebut bisa menjadi referensi penting guna membuat keputusan.

Realitas pada komunitas indie sesungguhnya tidaklah harus berhenti pada urusan fasilitas, mengingat pada hakikatnya komunitas indie sedang memperjuangkan sebuah pengakuan. Sangat disayangkan bila pada pertunjukan musik harus berkali-kali terjadi korban jiwa, padahal potensi konflik di antara mereka jauh lebih kecil daripada komunitas suporter sepak bola, yang sangat mudah tersulut permusuhan dengan suporter kesebelasan lawan.

Tragedi 9 Februari 2008 merupakan dosa kolektif dari pihak yang tidak mau belajar sungguh-sungguh, termasuk yang kurang mau tahu akan realitas peradaban yang sedang terjadi. Dan lebih khususnya lagi adalah dosa kolektif pihak-pihak yang sering bersentuhan dengan duia pertunjukan, namun tidak mau tahu banyak akan seluk-beluk soal ini. Kita sampaikan belasungkawa kepada sepuluh korban di AACC. Semoga pula konser musik yang lebih aman di masa depan, bisa membuat almarhum/almarhumah semakin bahagia di pangkuan-Nya.

Penulis: Adjie Esa Poetra (Penulis, guru vokal di Bandung)
Sumber: Pikiran Rakyat