Kamis, 27 Mei 2004

DARI namanya saja sudah bisa ditebak. Prof Jakobus (biasa disebut Jakob) Sumardjo bisa dipastikan bukan berasal dari etnis Sunda. Biarpun sudah lebih dari 40 tahun tinggal di Bandung, waktu tidak berhasil mengubah segalanya. Logat Jawanya masih sangat kental. Tetapi jangan tanya kemampuannya dalam menafsirkan pantun-pantun Sunda.

TAK KURANG dua guru besar, Ayatrochaedi Universitas dan Prof Saini KM Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, memuji minat “baru” rekannya, sehingga ia dijuluki sebagai “juru tafsir” Sunda. Kajian dilakukan merupakan paling mutakhir. Jika kajian sebelumnya hanya salah satu pantun, Jakob menggarap sejumlah cerita pantun segi yang selama ini luput dari perhatian para pengkajinya.

Uniknya, Jakob tidak fasih berbahasa Sunda. Untuk menolong kekurangannya, ia harus membolak-balik Kamus Bahasa Sunda karangan Satjadibrata. Tetapi tidak semua kata-kata yang dicari padanannya dalam bahasa Indonesia bisa ditemukan dalam kamus tersebut. Pantun banyak menggunakan lambang-lambang sehingga tidak mudah dimengerti, apalagi jika sebelumnya tidak mendalami kebudayaan masyarakat Sunda.

Untuk mengetahui arti kata-kata tersebut, saya bertanya ke sana-ke mari“, tuturnya.

Di kalangan masyarakat Sunda, seni pantun merupakan jenis pertunjukan teater tutur yang memperlihatkan kemampuan bercerita dari “sang juru pantun” dengan diiringi kacapi pantun. Pagelarannya diselenggarakan sejak pukul 20.00 sampai menjelang subuh sekitar pukul 04.30. Ceritanya pada umumnya berkisar tentang lakon makhluk-makhluk suci atau keramat atau mempunyai hubungan dengan Raja dan putra-putra Raja Kerajaan Pajajaran. Beberapa cerita pantun, seperti Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya, dan Nyi Sumur Bandung, dianggap sebagai keramat.

Untuk memainkannya, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, baik pada saat akan dimulai maupun menjelang akhir pagelaran dengan menyampaikan rajah. Rajah artinya sama dengan jampi-jampi atau permohonan pagelaran berlangsung lancar, baik pada saat diselenggarakan maupun sesudahnya.

Guru Besar STSI Bandung itu mengemukakan, gejala pantun sudah ada sebelum tahun 1518, sebagaimana ditunjukkan oleh naskah lama, Siksa Kandang Karesian. Boleh jadi masyarakat Sunda sudah mengenalnya sekitar tahun 1400-an, pada saat berkembangnya budaya Hindu-Buddha di Jawa Barat, sehingga cara berpikir agama-agama tersebut telah masuk ke dalam pantun. Cara berpikir tersebut kemudian berkembang dan menyesuaikan diri dengan masuknya Islam di Tatar Sunda. Selain itu, pantun juga mengandung unsur-unsur budaya lokal.

LAHIR di Jombor-Danguran, Klaten, 26 Agustus 1939, bagi ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Jovita Siti Rochma pada tahun 1969 itu, dunia pantun merupakan dunia “baru”. Setelah belajar di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan ke IKIP Bandung, ia mengajar di SMA St Angela, Bandung, sebagai guru sejarah dan menggambar. Di tempat ini ia bertemu calon istrinya.

Ia juga mengajar di STSI, selain di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pasundan (Unpas) untuk mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, dan Sosiologi Seni. Tetapi segudang kegiatannya itu tidak mengurangi minat yang sudah lama digeluti sebagai pengarang cerita pendek, kritikus sastra dan penulis esai di berbagai media, baik di Bandung maupun Jakarta. Dari tangannya sudah lahir lebih dari 20 buku.

Sejak “tergila-gila” dengan pantun Sunda, ia berusaha memburu transkrip naskah-naskah pantun Sunda. Ia sudah menghasilkan dua buku kumpulan tulisannya: Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan dan Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-tafsir Pantun Sunda.

Kedua kumpulan karya-karyanya itu menempatkannya sebagai “orang Sunda” yang lebih nyunda karena kemampuannya menafsirkan karya-karya sastra masyarakat Sunda. Namun, kelebihan ini tidak mengubah dirinya sebagai budayawan yang rendah hati dan hidup sederhana.

PERKENALAN Jakob Sumardjo dengan pantun Sunda sebenarnya belumlah lama. Itu berawal ketika diminta Saini KM untuk mengulas karyanya berupa naskah drama Pangeran Sunten Jaya yang akan dipentaskan Kelompok Actors Unlimited di Bandung pada 31 Agustus 2000 di teater terbuka Selasar Sunarjo. Ia bersedia mengulasnya kalau bisa membaca cerita pantunnya yang asli, yang ternyata karya Saini KM sendiri, Mundinglaya di Kusumah.

Perkenalan pertama itu menumbuhkan rasa penasarannya terhadap naskah-naskah pantun lainnya. Ia menyadari, untuk memahami naskah-naskah itu dibutuhkan ilmu tentang kebudayaan dan sejarah Sunda, pemahaman religi asli Sunda, religi Hindu Buddha-Tantra, dan antropologi budaya suku-suku Indonesia.

Hanya karena ketekunannya, satu per satu naskah-naskah pantun tersebut bisa ditafsirkan. Namun, karena cukup banyaknya naskah-naskah tersebut, ia mengakui baru sebagian kecil yang sudah berhasil diteliti.

Dari naskah-naskah yang sudah diteliti, ia menyimpulkan, cerita pantun bukan hanya merupakan karya sastra lisan yang luhur dari masyarakat Sunda. Naskah-naskah tersebut mengandung bagian-bagian yang menyangkut peristiwa sejarah Sunda, maka pantun memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun dianggapnya sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk kebudayaan Sunda yang paling besar.

Jika di Jawa terkenal dengan wayang kulit, maka di Sunda sebenarnya seni pantun. Bukan wayang golek“, ujar pengamat film yang tergabung dalam Forum Film Bandung (FFB) itu.

Sebagai bentuk kesenian rakyat, seni pantun tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten. Nasibnya tak berbeda dengan kesenian tradisional lainnya yang terdesak. Bahkan, juru pantun sudah makin langka.

Penulis: Her Suganda (Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat)
Sumber: Kompas